Jaga Rupiah, BI Keluarkan Tiga Kebijakan Baru

KATADATA
Bank Indonesia merevisi tiga kebijakan transaksi valuta asing dan posisi devisa neto perbankan untuk menjaga stabilitas rupiah.
3/6/2015, 11.04 WIB

KATADATA ? Bank Indonesia (BI) mengeluarkan tiga kebijakan baru untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ketiga kebijakan yang berlaku pada 1 Juni 2015 itu ingin mempermudah transaksi dalam valuta asing (valas).

Ketiga kebijakan yang direvisi tersebut antara lain: pertama,Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Domestik. Kedua, PBI Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing. Ketiga, PBI Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.

Direktur Task Force Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan, tujuan revisi ketiga kebijakan tersebut untuk mempercepat pendalaman pasar valas di dalam negeri. BI berharap likuiditas di pasar keuangan semakin longgar dengan harga yang wajar, serta risiko yang minimal untuk menjaga stavilitas ekonomi.

Revisi tersebut juga diharapkan memudahkan dunia usaha melakukan lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko pasar dan likuiditas valas. Apalagi, BI memperkirakan nilai transaksi derivatif akan naik menjelang akhir tahun nanti.

Saat ini, kata Nanang, ada 25 bank dari 72 bank devisa yang aktif melakukan transaksi derivatif. Ke-25 bank itu menguasai 70 persen-80 persen transaksi ini.  ?PBI (yang diperbarui) ini akan mempermudah nasabah melakukan transaksi derivatif,? kata dia di kantornya, Senin (1/6).

Terkait kebijakan valas, ada empat pokok perubahan yang dilakukan BI. Pertama, mengubah definisi transaksi derivatif dari sebelumnya hanya meliputi bentuk forward, swap, dan option. Dengan adanya ketentuan ini maka transaksi derivatif mencakup pula cross currency swap (CCS) atau kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran dana beserta bunganya dalam mata uang yang berbeda.

Kedua, kewajiban memitigasi risiko bank yang dapat melakukan transaksi CCS. Transaksi ini diharapkan mampu membantu perusahaan menghadapi risiko kenaikan suku bunga Amerika Serikat karena suku bunga utangnya juga bisa di-hedging.

Ketiga, memperluas cakupan underlying (aset yang dijaminkan) menjadi perdagangan dan investasi, termasuk perkiraan pendapatan dan biaya. Sebelumnya, bank ragu-ragu untuk melakukan transaksi derivatif karena dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valas maupun rupiah untuk kepentingan transaksi derivatif, kecuali dalam rangka ekspor.

?Sekarang investasi diperbolehkan. Kalau ada investor asing memperoleh dividen dan harus di-hedging bisa menggunakan dokumen sebagai underlying,? tutur dia.

Keempat, menghapus larangan derivatif beli tenor oleh asing di bawah satu pekan. Maka, jangka waktu transaksi derivatif ke depan dihitung berdasarkan tanggal dimulainya transaksi sampai dengan jatuh waktu dan paling lama dengan jangka waktu investasi.

Sedangkan terkait revisi kebijakan posisi devisa, BI mengubah batas waktu kewajiban bank untuk memelihara rasio posisi devisa neto (PDN) dari 30 menit, menjadi sehari. Maka, rasio PDN terhadap modal maksimal 20 persen tidak lagi dilakukan setiap 30 menit.

Hal ini dilakukan untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah, yang disebabkan oleh permintaan valuta asing (valas) untuk memenuhi kewajiban tersebut. Nanang menjelaskan, selama ini bank kesulitan melakukan pass on atau mengurangi gap dalam waktu 30 menit. Alhasil, transaksi yang dilakukan pada harga yang kurang optimal.

Hal ini menyebabkan bank enggan melakukan transaksi valas, sehingga volume transaksi pasar valas kecil dan kurang likuid. Pada akhirnya, berpotensi membuat nilai tukar melonjak karena pasar tipis dan kesulitan korporasi untuk melakukan lindung nilai.

Bagi bank bermodal besar dampaknya tidak begitu terlihat, karena kemampuan perusahaan untuk memenuhi batas maksimal PDN 20 persen. Namun, bagi bank asing yang memiliki nasabah investor luar negeri namun bermodal kecil, dampak kebijakan ini dinilai akan signifikan.

?Biasanya sampai 15 persen mereka stop, rata-rata 10 persen-15 persen (stop). Ini akan terasa di bank yang aktif di pasar valas tapi modalnya kecil. Jadi kalau investor ingin beli (valas), bank nggak bisa menyerap semua karena mentok. Kan cuma 30 menit, maka dia harus beli lagi di pasar spot,? kata dia.

Reporter: Desy Setyowati