KATADATA ? Pemerintah ingin mengurangi disparitas antara harga elpiji 3 kilogram (kg) yang diberikan subsidi dengan elpiji 12 kg yang tidak mendapat subsidi. Langkah ini untuk mencegah terjadinya peralihan pengguna dari elpiji 12 kg ke elpiji 3 kg yang harganya lebih murah.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmadja mengatakan, selama ini distribusi elpiji bersubsidi sering tidak tepat sasaran. Ini disebabkan penjualan elpiji dalam tabung kecil itu dilakukan secara bebas, sehingga seluruh masyarakat dapat membeli elpiji 3 kg dengan mudah.
?Lima tahun ke depan, kami mau bikin subsidinya tertutup, agar hanya mereka yang tidak mampu saja yang bisa menggunakan elpiji 3 kg,? kata dia di Jakarta, Rabu (28/1).
Nantinya, dengan skema distribusi tertutup, hanya masyarakat yang memiliki kartu sejahtera yang dapat membeli elpiji 3 kg. selain itu, opsi yang juga tengah digodok adalah pemberian dana dengan besaran tertentu kepada masyarakat untuk membeli elpiji 3 kg. ?Subsidi gas elpiji 3 kg tidak akan kita hapus, tapi pelan-pelan dikurangi,? ujar Nyoman.
Sebelumnya Nyoman mengatakan, pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan harga elpiji 3 kg sebesar Rp 1.000 per kg. Kenaikan tersebut untuk memberikan margin kepada PT Pertamina.
Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran meminta pemerintah tidak terburu-buru untuk menaikkan harga elpiji 3 kg. Pemerintah perlu mempertimbangkan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Saat ini, harga resmi elpiji 3 kg sebesar Rp 16.000 per tabung atau sekitar Rp 5.300 per kg. Sementara, harga elpiji 12 kg mencapai Rp 129.000 atau Rp 10.750 per kg. Ini berarti terdapat selisih harga yang tinggi di antara kedua produk tersebut. Meskipun kandungan isi dari produk tersebut sebetulnya sama.
(Baca: Di Tengah Hujan Kritik Soal Kapolri, Jokowi Umumkan Penurunan Harga BBM)
Akibat tingginya disparitas harga tersebut, maka tingkat konsumsi elpiji 3 kg pun terus meningkat. Pada 2014, konsumsi elpiji 3 kg mencapai 5,6 juta metrik ton. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada 2009 yang konsumsinya sebanyak 1,76 metrik ton.
Sementara konsumsi elpiji 12 kg relatif tidak berubah di kisaran 900 ribu sampai 1 juta metrik ton per tahun. Hal ini membuat tata kelola industri elpiji Indonesia pun berubah.
Berdasarkan data 2007, sebelum ada program konversi, porsi elpiji produksi Pertamina mencapai sekitar 1,09 juta metrik ton atau 85 persen dari kebutuhan domestik. Kontraktor production sharing (KPS) atau perusahaan migas asing melalui mekanisme domestic market obligation (DMO) menyumbang 0,151 juta metrik ton atau 11 persen. Sementara 4 persen sisanya ditutup dari impor.
Kondisi ini sekarang sudah berubah, yang sekitar 60 persen kebutuhan elpiji dalam negeri dipenuhi melalui impor. Sementara Pertamina hanya mampu memenuhi sekitar 12 persen. (Baca: Tata Kelola Energi Mendesak Dibutuhkan)