KATADATA ? Kenaikan harga properti di Indonesia sudah lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Ini merupakan gejala telah terjadinya gelembung harga properti di Indonesia. Dikhawatirkan gelembung tersebut pecah akibat terjadinya gagal bayar akibat beban kredit yang lebih tinggi dari kemampuan membayarnya.
Dalam survei yang dilakukan Bank Indonesia di 14 kota, yang terentang dari Jakarta hingga Manado, harga perumahan di Indonesia pada kuartal III-2013 diperkirakan meningkat 14,57 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sejak survei tersebut dilakukan.
Pertumbuhan harga properti menyalip tingkat kenaikan pendapatan penduduk Indonesia. Tahun ini, pendapatan per kapita penduduk Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 10 persen. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga properti selalu di bawah pertumbuhan pendapatan per kapita. Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan harga rumah akan semakin tidak terjangkau.
Salah satu penyebab melesatnya kenaikan harga properti Indonesia adalah akibat tingginya permintaan. Survei Bank Indonesia tentang ?Pilihan Investasi Masyarakat Indonesia? yang dilakukan Juni lalu diketahui, dalam setahun terakhir sebanyak 42,5 persen responden memilih properti sebagai investasi utamanya daripada emas atau produk pasar keuangan. Sedangkan dalam setahun ke depan, jumlahnya meningkat menjadi 64 persen.
Kenaikan ini didorong oleh rendahnya tingkat suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA). Bahkan meskipun Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan sejak Juni, suku bunga kredit tidak naik meskipun harga properti mengalami kenaikan yang pesat.
Menurut tim riset Jones Lang LaSalle, kenaikan didorong tingkat suku bunga rendah dan kenaikan harga tanah, sehingga memicu pertumbuhan permintaan investasi yang menjadikan properti sebagai aset utama.
Berdasarkan survei ?Pilihan Investasi Masyarakat Indonesia? juga diketahui, mayoritas atau 81 persen responden beralasan membeli properti karena mengharapkan kenaikan harga. Kedua, sebanyak 48 persen responden karena tergiur keuntungan yang menarik. Alasan lainnya, sebanyak 11,7 persen karena properti mudah dijual kembali.
Survei ini juga menyebutkan tidak seluruh kredit kepemilikan rumah (KPR) atau kredit apartemen (KPA) yang pertama digunakan untuk ditinggali. Sekitar 13,9 persen responden menggunakan KPR/KPA pertama sebagai sarana investasi atau disewakan. Artinya, semakin banyak rumah atau KPR yang dimiliki, semakin besar kemungkinan digunakan sebagai alat investasi atau spekulasi.
Survei juga menunjukkan 65 persen KPR/KPA kedua digunakan untuk investasi. Sedangkan 100 persen KPR/KPA ketiga digunakan untuk investasi. Bank Indonesia sebelumnya menyebutkan ada 35 ribu orang yang memiliki fasilitas KPR/ KPA lebih dari satu.