Profesor Ekonomi Universitas New York, Nouriel Roubini atau kerap dipanggil Dr. Doom memprediksi resesi ekonomi yang terjadi saat ini akan berubah menjadi kejatuhan besar alias Greater Depression. Sebelum pandemi virus corona melanda dunia, pada dua tahun lalu dia meramal krisis finansial akan terjadi tahun 2020.

Ramalan Roubini pada 2018 ditulis dalam opini berjudul The Makings of a 2020 Recession and Financial Crisis dan dipublikasikan di situs Project Sydicate. Saat itu ia menyebut krisis pada 2020 terjadi akibat ekspansi global yang terus berlanjut. Sementara Amerika Serikat (AS) memiliki defisit fiskal yang besar dan Tiongkok melonggarkan kebijakan fiskalnya. Di sisi lain, Eropa masih berada dalam pemulihan krisis.

(Baca: Bayang-Bayang Ketimpangan New Normal Pendidikan Akibat Pandemi)

Sekarang, Roubini menyebut kesalahan kebijakan pemerintah-pemerintah dunia dalam menghadapi krisis akibat covid-19 adalah pangkal kejatuhan besar terjadi. Alih-alih mengatasi masalah struktural yang diakibatkan keruntuhan finansial dan resesi berikutnya, kebanyakan pemerintahan dunia justru membuat risiko baru.

Kepada Joe Weisenthal dan Tracy Allowas dari Bloomberg dalam satu edisi wawancara, 6 Mei lalu, Roubini menyatakan pemulihan krisis tahun ini bisa mengarah kepada bentuk kurva ‘U’. Namun dalam satu dekade ke depan bisa membentuk kurva ‘L’.

“Prediksi ini tidak berdasar model ekonometrik formal. Karena dalam pemahaman saya hal itu tak berguna ketika berada dalam jurang resesi,” kata Roubini.

Sebaliknya, Roubini mengaku prediksinya melihat dinamisasi ekonomi atas kebiasaan sektor privat, rumah tangga dan korporasi. Begitupun respons kebijakan negara terhadap pandemi, seperti AS yang menurutnya saat ini sudah kuat tapi lebih lemah ketimbang Eropa dan Jepang.

(Baca: Indonesia dalam Pusaran Gelombang Kemiskinan Dunia)

Roubini menilai, kondisi saat ini bisa mengarah kepada negative supply shock dan deglobalisasi setelah pandemi berakhir. Karena banyak negara yang akan berlaku egois dengan mengetatkan tarif, melakukan proteksi, dan memprioritaskan produknya untuk kebutuhan dalam negeri. Perang dingin pun semakin membeku antara AS dan Tiongkok yang berpengaruh kepada rantai perekonomian global.

Kebijakan negara-negara melonggarkan pembatasan sosial, menurutnya tak akan sekonyong mengembalikan geliat ekonomi. Karena pengangguran telah terjadi dan mereka belum tentu mendapat pekerjaannya lagi setelah pandemi. Di AS angka pengangguran sudah mencapai 26 juta jiwa dan berpotensi meningkat jadi 35 juta orang pada puncaknya.

Padahal, kata Roubini, 40% rumah tangga di AS hanya memiliki cadangan uang tak lebih dari US$ 400 untuk menghadapi masa darurat. Ini akan menurunkan konsumsi di sektor luks. Karena masyarakat lebih fokus untuk membeli kebutuhan pokok. Dampaknya kepada industri akan semakin melakukan efisiensi.

Roubini bahkan menyebut akan terjadi stagflasi, yaitu “kombinasi dari stagnansi ekonomi, resesi, dan inflasi yang tinggi.”

“Beda resesi sekarang dengan krisis sebelumnya dan depresi besar adalah keduanya berjalan lebih lambat. Butuh 3 tahun untuk menjadi seperti sekarang,” kata Roubini. “Kini dunia seperti dihantam asteroid. Semua negara terkena dalam waktu singkat.”

(Baca: Konsumsi Masyarakat Lockdown, Ekonomi RI Langsung Jatuh)

Pria yang mengaku lebih suka dipanggil sebagai Dr. Realist ketimbang Dr.Doom ini, pun menuliskan prediksinya dalam artikel berjudul The Coming Greater Depression of the 2020s yang terbit di Project Syndicate pada 28 April lalu. Ia menyebut 10 tren yang memengaruhi greater depression, yaitu sebagai berikut:

Utang dan Wanprestasi

Kebijakan terkait covid-19, kata Roubini, memerlukan peningkatan besar defisit fiskal oleh negara. Hal ini dilakukan saat tingkat utang publik di banyak negara sudah tinggi, jika tidak berkelanjutan. Diperburuk pula oleh hilangnya pendapatan bagi banyak rumah tangga dan perusahaan. Artinya, utang sektor swasta menjadi tidak berkelanjutan dan berpotensi menyebabkan gagal bayar dan kebangkrutan massal.

“Ini membutuhkan pemulihan yang lebih segar dibandingkan resesi satu dekade lalu,” kata Roubini.

Dalam konteks Indonesia, ini terjadi pada pelebaran defisit lebih dari 3% dari PDB untuk tiga tahun ke depan melalui Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan fiskal menghadapi pandemi. Di sisi lain, industri terpukul dan banyak sektor swasta memerlukan restrukturisasi utang agar dapat bertahan. Salah satunya di sektor properti yang mengalami peningkatan kredit macet dari 2,88% pada Januari menjadi 2,97% pada Februari tahun ini, sebagaimana data Bank Indonesia pada April.

Sementara dalam konteks AS, tingkat defisit ditingkatkan lebih kurang 10% dari PDB. Industri penerbangan AS pun mulai buka tutup utang untuk tetap menjaga operasionalnya. Data Bloomberg pada 27 April mencatat maskapai AS paling banyak menarik utang dari bank di antara maskapai dunia lainnya, yakni sebesar US$ 20 miliar. Pemerintah AS pun mengeluarkan talangan sebesar US$ 50 miliar kepada para maskapai.

Terkait ini, kepada Business Insider pada 28 Maret lalu Roubini pernah menyinggungnya pula. Ia mengatakan, “negara tak bisa terus-terusan membohongi investor dengan talangan. Jika terus menetapkan defisit anggaran 10-15% sementara terus mengucurkan uang, maka bisa bernasip seperti Zimbabwe.”

(Baca: Pukulan Beruntun Pandemi Corona yang Mengandaskan Industri Properti)

Masalah Demografi di Negara Maju

Roubini menyatakan sebagian besar negara maju bermasalah dengan penduduk yang rata-rata berusia lanjut. Sementara krisis covid-19 menuntut pengeluaran publik lebih banyak dialokasikan untuk sistem kesehatan dan kebutuhan lain yang relevan dengan pandemi. Maka, mendanai pengeluaran untuk kesehatan akan membuat utang implisit dari sistem jaminan kesehatan dan jaminan sosial membengkak.

AS sudah mengeluarkan anggaran sistem kesehatan pada 28 Maret sebesar US$ 132 miliar. Rinciannya adalah untuk peningkatan pelayanan rumah sakit sebesar US$ 117 miliar, riset dan penyediaan vaksin sebesar US$ 11 miliar, dan operasional badan pengendalian penyakit sebesar US$ 4,3 miliar. Dana ini termasuk dalam stimulus virus corona AS yang total sebesar US$ 2 triliun.  

(Baca: Ambruknya Harga Minyak yang Menambah Beban Ekonomi RI)

Risiko Deflasi Meningkat

Krisi kali ini, kata Roubini, menyebabkan resesi mendalam sekaligus menciptakan penurunan besar barang karena mesin yang tak berproduksi, tenaga kerja karena pengangguran massal, dan jatuhnya harga komoditas seperti minyak dan logam industri. Ini menyebabkan deflasi utang dan meningkatkan risiko kebangkrutan.

Penurunan Nilai Mata Uang

Seiring dengan upaya bank sentral mengurangi deflasi dan menghindari risiko kenaikan suku bunga setelah penumpukan utang dalam jumlah besar, kebijakan moneter akan menjadi semakin tidak biasa dan tak terjangkau. Mata uang semakin tak terkendali dan turun nilainya. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menjalankan monetisasi defisit fiskal untuk menghindari depresi dan dan deflasi. Namun, kata Roubini, seiring waktu negative supply shock akan menjadi permanen dan percepatan deglobalisasi serta proteksionisme menciptakan stagflasi.

(Baca: Mewaspadai Ancaman Krisis Ekonomi Panjang Imbas Pandemi Corona)

Disrupsi Digital dalam Ekonomi

Untuk menjaga guncangan dari rantai pasok global di masa depan, kata Roubini, perusahaan negara maju akan melakukan disrupsi digital. Salah satu caranya adalah memindahkan pabrik dari negara buruh murah ke pasar domestik dengan pasar tinggi yang sudah mengafirmasi penggunaan teknologi. Namun, alih-alih membantu pekerja tetap beroperasi di rumah, tren ini akan mempercepat laju otomatisasi, menekan upah, dan semakin mengipasi api populisme, nasionalisme, dan xenofobia.

Selain itu, kata Roubini, pemindahan lokasi pabrik akan memperlebar kesenjangan global. Karena jumlah orang yang kehilangan pekerjaan akan semakin banyak dan lebih banyak pekerja menghasilkan sedikit upah.

(Baca: Polemik RUU Minerba dan Angin Segar Bagi Pengusaha Batu Bara)

Deglobalisasi

Roubini berpendapat pandemi mempercepat tren menuju yang disebutnya sebagai balkanisasi ekonomi. AS dan Tiongkok akan memutus kerja sama ekonomi yang selama ini disebut sebagai codependency. Sebagian negara besar lain akan meresponnya dengan melakukan proteksionisme guna melindungi perusahaan dan pekerja domestiknya dari gangguan global.

Maka, dunia pasca pandemi akan ditndai dengan pembatasan pergerakan barang, jasa, modal, tenaga kerja, data, teknologi, dan informasi yang lebih ketat. Menurutnya ini sudah terjadi di sektor farmasi, peralatan medis, dan makanan.   

Potensi ini dalam catatan kami sudah mulai terlihat melalui ancaman Donald Trump meningkatkan tarif dagang untuk Tiongkok. Begitupun negara eksportir pangan seperti Thailand yang menaikkan tarif eskportnya dan Vietnam yang memprioritaskan komoditi pangannya untuk kebutuhan dalam negeri.

(Baca: Krisis Pangan Dunia Menghantui Indoensia)

Serangan Terhadap Demokrasi

Roubani juga memperhitungkan potensi politik yang memperkuat tren ke arah greater depression. Menurutnya pemimpin berhaluan populis akan memanfaatkan kelemahan ekonomi, pengangguran massal, dan meningkatkan ketidaksetaraan untuk mendiskreditkan bahkan merusak iklim demokrasi. Kebijakan yang mengarah kepada mengkambing hitamkan asing sebagai penyebab krisi akan mengarus utama. Khususnya aturan membatasi migrasi dan perdagangan.

(Baca: Menakar Efektivitas Injeksi BI untuk Likuiditas Perbankan)

Kebuntuan Geostrategis AS-Tiongkok

Potensi ini, menurut Roubini, terlihat dari pernyataan-pernyataan Trump yang terus mendiskreditkan Tiongkok terkait penyebaran corona. Xi Jinping berpeluang meresponsnya dengan menyebut AS sengaja ingin mencegah pertumbuhan ekonomi Tiongkok lewat tuduhan Trump. Walhasil, segregasi antara AS-Tiongkok di bidang perdagangan, teknologi, dan pengaturan moneter semakin mendekati nyata.

(Baca: Sejarah Pandemi dan Epidemi di Dunia yang Memicu Gejolak Politik)

Perang Dingin Baru

Lebih buruk lagi, kata Roubini, perpecahan diplomatik sangat mungkin terjadi antara AS dengan para pesaingnya—Tiongkok, Rusia, Iran, dan Korea Utara—yang menciptakan perang dingin baru. Dengan semakin dekatnya pemilu AS yang menuntur Trump meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya, begitupun pesaingnya nanti, maka banyak alasan untuk meningkatkan perang siber yang bisa mengarah kepada perang militer konvensional.  

Mengingat teknologi adalah senjata utama dalam memperjuangkan kontrol industri di masa depan untuk dan dalam memerangi pandemi, maka sektor teknologi swasta AS akan semakin terintegrasi ke dalam kompleks industi keamanan nasionalnya.

(Baca: Risiko di Balik Curi Start RI Berburu Utang Global di Masa Pandemi

Faktor Alam

Terakhir tapi tak bisa diabaikan, adalah gangguan alam seperti ditunjukkan oleh krisis covid-19 yang lebih bisa menciptakan malapetaka ekonomi ketimbang krisis finansial. Epidemi berulang seperti HIV sejak 1980-an sampai sekarang dan perubahan iklim, kata Roubini, pada dasarnya adalah buatan manusia sebagai hasil dari pelayanan kesehatan dan standar sanitasi buruk, eksploitasi alam, dan interkonetivitas dalam globalisasi. Ke depannya, melihat kondisi masyarakat saat ini, pandemi akan menjadi lebih sering, parah, dan menguras ongkos ekonomi.  

(Baca: Sisi Minus Stimulus Rp 405 Triliun dalam Penanganan Virus Corona)

Sepuluh risiko ini, kata Roubini sudah mencuat sebelum corona melanda. Sekarang bisa memicu badai sempurna yang menyapu seluruh ekonomi global menjadi satu dekade keputusasaan. Pada 2030-an, teknologi dan kepemimpinan politik yang lebih kompeten mungkin dapat mengurangi, menyelesaikan, atau meminimalkan banyak masalah ini. Sehingga menimbulkan tatanan internasional yang lebih inklusif, kooperatif, dan stabil.

"Tetapi setiap akhir yang bahagia mengasumsikan bahwa kita menemukan cara untuk selamat dari Depresi Besar yang akan datang," kata Roubini.