Ratusan juta orang di dunia berisiko jatuh ke bawah garis kemiskinan seiring anjloknya perekonomian imbas pandemi corona. Penurunan angka kemiskinan yang dicapai selama bertahun-tahun berisiko tersapu hanya dalam hitungan bulan. Masalah ini juga menghantui Indonesia.

April lalu, badan amal yang berbasis di Inggris Oxfam memperingatkan pandemi virus corona berisiko membuat setengah miliar orang jatuh ke bawah garis kemiskinan. Ini setara 8 % dari total penduduk dunia atau dua kali lipat penduduk Indonesia yang berkisar 250 juta orang.

Peringatan ini berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh King’s College London dan Australian National University bekerja sama dengan Oxfam. Riset tersebut bertujuan untuk menghitung dampak jangka pendek dari pandemi corona terhadap angka kemiskinan dunia. Acuannya, garis kemiskinan versi Bank Dunia yakni pendapatan US$ 1,9; 3,2; dan 5,5 per hari.

(Baca: Menkeu Sebut Kerugian Dunia Imbas Corona Capai Rp 134 Ribu Triliun)

Perhitungan dilakukan dengan berbagai skenario. Hasilnya, dunia berisiko menghadapi hilangngya progres penurunan angka kemiskinan selama satu dekade. Risiko lebih buruk dialami negara-negara Afrika Utara, Sub Saharan Afrika, dan Timur Tengah, dengan potensi progres yang hilang mencapai tiga dekade alias 30 tahun.

Dengan skenario terburuk yakni kejatuhan pendapatan sebesar 20 %, jumlah orang berpenghasilan kurang dari US$ 5,5 per hari bertambah 548 juta orang. Penurunan pendapatan tak lepas dari gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK di berbagai sektor. Sebelumnya, Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO memperkirakan 1,25 miliar orang di seluruh dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh corona dan berisiko kehilangan pekerjaan.

Kampanye Keringanan Utang Bagi Negara Termiskin

Di tengah ancaman lonjakan angka kemiskinan, UNCTAD, badan di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengurus perdagangan dan pembangunan, mengajukan paket penanganan virus corona bernilai US$ 2,5 triliun atau lebih dari Rp 37 ribu triliun untuk negara berkembang. Paket ini termasuk keringanan pembayaran utang.

Tujuannya, agar negara-negara berkembang bisa menggunakan anggaran untuk peningkatan layanan kesehatan dan menata kembali perekonomiannya. Sebab, tanpa krisis akibat corona sekali pun, pendapatan banyak negara berkembang semakin banyak yang habis untuk membayar utang, layanan kesehatan, dan belanja sosial.

Estimasi UNCTAD, negara-negara berkembang memerlukan hampir US 3,4 triliun untuk pembayaran utang luar negeri tahun ini. Rinciannya, negara berkembang berpendapatan tinggi membutuhkan antara US$ 2 dan 2,3 triliun untuk pembayaran utang luar negeri. Sedangkan negara berkembang berpendapatan menengah dan bawah membutuhkan US$ 666 miliar sampai 1,06 triliun.

Paket penanganan yang diajukan UNCTAD meliputi tiga langkah. Pertama, penghentian pembayaran utang sementara secara otomatis. Kedua, keringanan utang. Untuk langkah kedua ini, lembaga internasional dan sederet negara ekonomi besar sudah mulai menerapkannya. Namun UNCTAD berharap keringanan yang lebih besar.

HEALTH-CORONAVIRUS/HAITI
HEALTH-CORONAVIRUS/HAITI (ANTARA FOTO/REUTERS/Jeanty Junior Augustin/foc/cf)
 

Pada April lalu, IMF memberikan keringanan utang bagi 25 negara termiskin yang diestimasi bernilai US$ 215 juta. Negara-negara tersebut yakni Afghanistan, Benin, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Chad, Comoros, Republik Demokratik Kongo, Gambia, Guinea, Guinea-Bissau, Haiti, Liberia, Madagascar, Malawi, Mali, Mozambique, Nepal, Nigeria, Rwanda, São Tomé and Príncipe, Sierra Leone, Solomon Islands, Tajikistan, Togo, dan Yaman.

Sedangkan negara-negara ekonomi terbesar dunia alias G20 – Indonesia termasuk di dalamnya -- mengumumkan penundaan pembayaran utang untuk 73 negara termiskin. Penundaan untuk kurun waktu delapan bulan, mulai Mei hingga akhir 2020. Meskipun, belum terang tentang ada tidaknya keringanan utang yang diberikan Indonesia untuk negara lain.

Langkah ketiga, pembentukan otoritas internasional untuk memantau implementasi dari dua langkah sebelumnya. Selain itu, untuk meletakkan dasar regulasi supaya tercipta kerangka internasional yang bersifat permanen terkait urusan restrukturisasi utang di masa depan.

Jutaan Penduduk RI Berisiko Jatuh ke Bawah Garis Kemiskinan

Risiko peningkatan angka kemiskinan yang masif juga menghantui Indonesia. Hal ini lantaran banyak orang berada nyaris di ambang batas garis kemiskinan dan rentan miskin. Bantuan sosial yang lebih luas diperlukan guna menopang kesejahteraan masyarakat.

Center of Reform on Economics alias CORE mencatat, jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin mencapai 66,7 juta jiwa. Ini setara 25 % dari total penduduk, atau lebih dari 2,5 kali lipat jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

“Masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah,” demikian tertulis dalam analisis yang dibuat Ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto dan Muhammad Ishak Razak.

(Baca: Terpukul Efek Corona, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I Anjlok jadi 2,97%)

Dengan pandemi dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pendapatan banyak orang menurun dan bahkan harus kehilangan pekerjaan, khususnya yang di sektor informal. Masalah menjadi semakin pelik bila bantuan sosial dari pemerintah tidak mencukupi atau datang terlambat.

“Golongan rentan dan hampir miskin akan semakin banyak yang jatuh ke bawah garis kemiskinan,” demikian tertulis. Akibat pandemi corona, CORE memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan berpotensi bertambah 5,1 juta hingga 12,3 juta orang pada triwulan II 2020.

Skenario pertama, tambahan penduduk miskin berpotensi mencapai 5,1 juta orang dengan asumsi bahwa pandemi semakin luas pada Mei 2020, tapi tidak sampai memburuk sehingga PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar Pulau Jawa.

Total jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan berdasarkan skenario ini menjadi 30,8 juta orang, atau 11,7 % dari total penduduk Indonesia.

Skenario kedua, tambahan penduduk miskin berisiko mencapai 8,25 juta orang, dengan asumsi bahwa penyebaran corona semakin luas dan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di Pulau Jawa dan beberapa kota di luar Pulau Jawa.

Total jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan berdasarkan skenario ini menjadi 33,9 juta orang, atau 12,8 % dari total penduduk Indonesia.

Skenario ketiga atau yang terberat, tambahan penduduk miskin berisiko mencapai 12,2 juta orang, dengan asumsi bahwa penyebaran corona tak terbendung lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas di dalam dan luar Pulau Jawa, dengan standar yang sangat ketat.

Total jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan berdasarkan skenario ini menjadi 37,9 juta orang, atau 14,35 % dari total penduduk Indonesia.

Prediksi dalam tiga skenario ini dibangun dengan asumsi bahwa puncak pandemi terjadi pada triwulan II 2020, dan setelahnya berangsur-angsur mereda. “Apabila situasi ekonomi memburuk dalam waktu yang lebih panjang, peningkatan jumlah penduduk miskin akan lebih besar lagi.”

Berdasarkan analisis ekonom CORE, potensi penambahan jumlah penduduk miskin lebih besar terjadi di perkotaan. Berikut rincian prediksinya:

SkenarioPerkotaanPedesaan
Skenario 13 juta2,6 juta
Skenario 26 juta2,8 juta
Skenario 39,7 juta3 juta

Sumber: CORE (Diolah)

Risiko penambahan masif jumlah penduduk miskin tak lepas dari gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK dan penghentian kerja yang tengah bergulir. Jumlah pengangguran merangkak naik dengan cepat dalam dua bulan pemberlakuan pembatasan sosial di Tanah air.

JUMLAH PENGANGGURAN DIPREDIKSI BERTAMBAH
JUMLAH PENGANGGURAN DIPREDIKSI BERTAMBAH (ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.)
 

Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan jumlah pengangguran telah bertambah puluhan juta, jauh di atas data pemerintah yang sebanyak 2-3 juta orang. Perkiraan tersebut dengan memperhitungkan banyaknya hotel yang tutup hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terpukul.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memang pernah menyinggung soal data pengangguran yang lebih besar dari yang dimiliki kementeriannya. Ini lantaran banyaknya pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan, namun tidak teridentifikasi.

Atau, laporannya berada di kementerian lain yakni Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jika ditotal, Ida memperkirakan angka pekerja yang terkena PHK dan dirumahkan di sektor informal akan jauh lebih banyak ketimbang di sektor formal.

Adapun berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran terbuka mencapai 6,68 juta orang pada Februari 2020. Ini artinya, tingkat pengangguran 4,8 % dari total angkatan kerja yang sebanyak 137,91 juta.

Jika jumlah pengangguran terbuka bertambah 10 juta saja dengan asumsi angkatan kerja bertambah 2 juta orang tahun ini, tingkat pengangguran melonjak menjadi nyaris 12 %. Persentase ini melompat lebih dari dua kali dari data per Februari 2020.

Jika ini yang terjadi, tingkat pengangguran tahun ini bisa menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Berdasarkan data historis yang disajikan CEIC, tingkat pengangguran terakhir kali berada di atas 10 % pada 2006 lalu, kemudian berangsur turun hingga berada di kisaran 5 %.

Halaman selanjutnya: Ekonom Suarakan Perluasan Penerima Bantuan hingga Pemangkasan Harga

Halaman:

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami