Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan pada Juni kembali mengalami surplus sebesar US$ 1,27 miliar. Surplus perdagangan ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 2,09 miliar, tetapi lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 210 juta.
Meski demikian, Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan ekspor dan impor pada Juni mencatatkan kinerja yang menggembirakan. Total ekspor tercatat sebesar US$ 12,03 miliar, naik 15,09% dibandingkan bulan sebelumnya atau 2,28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Impor juga meningkat pada Juni sebesar 27,56% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 10,76 miliar. Namun, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, impor Juni masih turun 6,36%.
"Neraca perdagangan pada Juni mencatatkan surplus sebesar US$ 1,27 miliar. Neraca perdagangan pada Juni ini menggembirakan, ekspor dan impor naik, mudah-mudahan ini akan berlanjut seterusnya," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (15.7).
Suhariyanto menjelaskan, peningkatan ekspor pada Juni dibandingkan Mei terutama didorong oleh ekspor nonmigas yang mencapai 15,73%. Ekspor migas juga turut meningkat sebesar 3,8%.
(Baca: Sinyal Geliat Ekonomi Usai PSBB, Neraca Dagang Diramal Surplus Rp 69 T)
Adapun pada ekspor nonmigas, kenaikan terjadi pada hampir seluruh sektor yang didorong oleh pertanian yang mencapai 18,99%. "Ekspor pertanian yang naik cukup besar yakni kopi serta tanaman obat dan aromatik," kata dia.
Ekspor sektor pengolahan juga naik 15,96% dibandingkan Mei atau 7% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi 9,66 miliar. Demikian juga dengan ekspor pertambangan yang naik 13,69% secara bulanan menjadi US$ 1,51 miliar. Namun, ekspor pertambangan masih mencatatkan penurunan jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sementara kenaikan impor, pada Juni dibandingkan Mei didorong oleh impor migas dan nonmigas. Namun, impor migas jika dibandingkan Juni 2019 masih turun hingga 6o,47%. "Penurunan impor migas terjadi pada minyak mentah, hasil minyak mentah, dan gas," katanya.
Kenaikan impor nonmigas terutama terjadi pada impor barang konsumsi yang melonjak hingga 51,1% dibandingkan Mei atau 37,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 1,41 miliar. Kenaikan juga terjadi pada bahan baku penolong dan barang modal.
"Kenaikan impor paling tinggi adalah bawang putih, itu banyak dari Tiongkok. Lalu daging beku dari Australia, obat-obatan dari Inggris, dan buah pir dari Tiongkok," ujarnya.
(Baca: Dilema Warga Jakarta Hadapi Corona, antara Ekonomi atau Kesehatan?)
Impor bahan baku penolong juga naik 24,01% dibandingkan Mei menjadi US$ 7,58 miliar, sedangkan impor barang modal naik 27,35% menjadi US$ 1,77 miliar. Namun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, impor bahan baku masih turun 13,27%, tetapi barang modal naik 2,63%.
Sementara secara kumulatif, total ekspor pada Januari-Juni mencapai US$ 76,41 miliar, masih turun 5,49% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sedangkan total impor pada sepanjang semester pertama tahun ini mencapai US$ 70,91 miliar, turun 14,28% dibandingkan semester pertama tahun lalu.
"Secara kumulatif, neraca perdagangan pada Januari-Juni mencapai US$ 5,5 miliar," ujarnya.