Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4%. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mendorong pemulihan ekonomi yang terpukul pandemi corona.
"Dengan berbagai asesmen global dan domestik, rapat dewan gubernur BI pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi video, Kamis (16/7).
Selain suku bunga acuan, bank sentral juga menurunkan suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility sebesar 25 bps menjadi 3,25% dan bunga pinjaman atau lending facility 25 bps menjadi 4,75%.
"Keputusan ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang cukup rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah lanjutan pemulihan ekonomi," katanya.
(Baca: Perketat PSBB, Bank Dunia Prediksi Ekonomi RI Bisa Minus 2% Tahun Ini)
Perry menjelaskan, inflasi tetap rendah pada Juni dan hanya mencapai 0,18% secara bulanan atau 1,96% secara tahunan. Sedangkan berdasarkan tahun kalender, inflasi Januari-Juni baru mencapai 1,09%. Ia pun memastikan inflasi akan tetap terjaga hingga akhir tahun di level kisaran 3%.
Langkah-langkah yang ditempuh ini juga akan mencakup kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah masih berlanjutnya ketidakpastian global. BI juga akan memperkuat sinergi untuk memantau akselerasi stimulus fiskal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Perry menjelaskan kontraksi perekonomian global yang berlanjut membuat pemulihan ekonomi dunia lebih lambat dari perkiraan. Mobilitas pelaku ekonomi yang belum kembali normal turut menahan aktivitas ekonomi.
"Di dalam negeri perekonomian kuartal II diperkirakan kontraksi dengan level terendah pada Mei 2020 sejalan dengan dampak PSBB. Namun, pada Juni, perekoniimian mulai mengalami perbaikan seiring relaksasi PSBB," kata dia.
Pemerintah sebelumnya kembali memangkas proyeksi perekonomian dari minus 3,8% menjadi minus 4,2%. Hal ini seiring dengan dampak pandemi corona yang lebih buruk terhadap perekonomian dari proyeksi awal.
Bank Indonesia pada paruh pertama tahun ini atau Januari-Juni 2020 telah menurunkan suku bunga acuan hingga 75 bps atau 0,75%, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.
Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Ryan Kiryanto menyebut realisasi inflasi hingga Juni masih rendah sehingga otoritas moneter memiliki ruang untukmenurunkan suku bunga 25 basis poin ke 4%. " Tapi pada rapat dewan gubernur kali ini sebaiknya suku bunga ditahan saja, kurs rupiah masih volatile," kata Ryan kepada Katadata.co.id, Kamis (16/7).
Kurs rupiah saat ini masih dilanda sentimen negatif dari bertambahnya kasus positif Covid-19 dalam negeri. Padahal, kasus positif di negara lain sudah melandai.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,19% ke level Rp 14.560 per doalr Amerika Serikat (AS) pagi ini. Berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dolar Rate kemarin, mata uang Garuda sudah menyentuh level Rp 14.616 per dolar AS.
Sementara untuk kebijakan lainnya seperti suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman, Ryan juga memperkirakan BI belum akan merubahnya. Begitu pula dengan kebijakan pelonggaran likuiditas. "Steady saja," ujarnya.
Senada, Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi turut memprediksi bank sentral akan mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate di angka 4,25%. "Dengan mempertimbangan bahwa rupiah sedang mengalami tren pelemahan," kata Eric pada waktu yang berlainan.
(Baca: Terdampak Pandemi, Ekonomi Indonesia Dinilai Sudah di Ambang Resesi)
Selain itu, ia menilai bahwa BI perlu meyakinkan para pelaku pasar bahwa otoritas moneter tetap berusaha
mengendalikan inflasi di tengah resiko peningkatan inflasi akibat kebijakan pembagian beban pembiayaan utang pemerintah.
Eric mengungkapkan skema pembagian beban pembiayaan utang pemerintah berpotensi menaikkan inflasi ke kisaran 5% - 6% tahun ini, sebelum berangsur turun ke kisaran 3,0% - 3,5% tahun 2021. "Tanpa skema ini, inflasi di kisaran 2,7% - 3% tahun ini," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, BI dan pemerintah menyepakati skema pembagian beban alias burden sharing pembiayaan utang pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional. Bank sentral akan menanggung sepenuhnya pembiayaan barang publik senilai Rp. 397,6 triliun melalui pembelian Surat Berharga Negara dengan mekanisme penempatan langsung dengan nilai kupon sebesar bunga acuan BI tenor 3 bulan.
Pembiayaan barang non-publik untuk UMKM senilai Rp 123,5 triliun dan korporasi senilai Rp 53,6 triliun dilakukan melalui penjualan SBN, dan pemerintah menanggung setengah dari nilai kupon sebesar suku bunga acuan tenor 3 bulan dikurangi 1% sementara sisanya ditanggung oleh BI. Sedangkan, pemerintah menanggung sepenuhnya pembiayaan barang non-publik lainnya senilai Rp 329 triliun dengan mengikuti suku bunga pasar.