Jejak Pertumbuhan Ekonomi Minus yang Pernah Dialami Indonesia

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Ilustrasi. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2020 angkanya minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penulis: Sorta Tobing
5/8/2020, 13.48 WIB

Dampak pandemi corona mulai terlihat pada angka pertumbuhan ekonomi  Indonesia. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pada kuartal kedua 2020 angkanya minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year).

Realisasi itu lebih buruk dibandingkan prediksi pemerintah di minus 4,3% secara tahunan. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa buruk terhadap kesehatan dan perekonomian.

Secara kumulatif pertumbuhannya pada semester pertama 2020 terkontraksi 1,62% dibandingkan periode yang sama di 2019. “Dibandingkan kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi minus 4,92%,” kata Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (5/8).

Pergerakan inflasi, menurut dia, saat ini rendah, bahkan mengarah deflasi. Sementara, nilai investasi turun tajam. Hanya ada tiga sektor usaha yang tumbuh sepanjang April hingga Juni 2020 dibandingkan kuartal I-2020, yakni pertanian (16,24%), informasi dan komunikasi (2,44%), dan pengadaan air (1,28%).

Sektor yang mengalami kontraksi terdalam adalah transportasi dan pergudangan (negatif 29,22%) serta akomodasi dan pergudangan (negatif 22,31%). Dibandingkan kuartal pertama tahun ini, hanya konsumsi pemerintah yang berhasil tumbuh mencapai 22,32%. Nilai investasi minus 9,71%, ekspor negatif 12,815, dan impor minus 14,61%.

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual menilai ekonomi Indonesia belum memasuki masa resesi secara teknis. Definisi resesi tersebut adalah ketika negara mengalami pertumbuhan negatif  selama dua kuartal berturut--turut yang dilihat secara tahunan.

Pertumbuhan minus pada triwulan II-2020 terjadi karena perekonomian yang belum banyak bergerak. Salah satu indikatornya adalah belanja pemerintah yang belum maksimal. Perekonomian kuartal ketiga tahun ini bisa menjadi positif. “Namun, kalau belanja pemerintah masih belum efektif seperti di kuartal II, kemungkinan akan kembali negatif,” katanya.

Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan realisasi belanja dan pendapatan negara sepanjang semester pertama 2020. Angkanya masih jauh dari target, bahkan belum separuhnya terealisasi.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyebut hal serupa. Resesi teknis didefinisikan sebagai pertumbuhan kuartalan yang mengalami kontraksi secara berturut-turut. Namun, definisi tersebut berlaku pada perekonomian suatu negara yang sudah menghilangkan faktor musiman. 

Namun, data PDB (produk domestik bruto) Indonesia belum menghilangkan faktor musiman, maka resesi teknikal didefinisikan sebagai pertumbuhan tahunan yang mengalami pertumbuhan negatif pada 2 kuartal berturut-turut. “Jadi Indonesia belum teknikal resesi," ujarnya.

Apakah Indonesia Menuju Resesi?

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan pandemi corona telah membatasi aliran barang dan uang serta pergerakan manusia. Kegiatan ekonomi, konsumsi, investasi, dan ekspor-impor di semua negara mengalami penurunan sangat tajam.

Proses ini sudah berlangsung sejak awal tahun ketika wabah Covid-19 mulai melanda Tiongkok dan menyebar ke berbagai negara. Semua negara saat ini berpotensi resesi. Perbedaanya hanya pada kedalaman dan kecepatan keluar dari kondisi ekonomi tersebut.

Indonesia diperkirakan akan mengalami resesi. Pertumbuhan ekonominya akan negatif di dua kuartal terakhir tahun ini. “Apabila perkiraan ini benar-benar terjadi, maka RI pada Oktober nanti akan secara resmi dinyatakan resesi,” kata Piter dalam pernyataan tertulisnya.

Masyarakat tidak perlu panik. “Resesi sudah menjadi sebuah kenormalan baru di tengah wabah,” ucapnya. Hampir semua negara mengalami resesi. Yang terpenting adalah bagaimana dunia usaha dapat bertahan di tengah pandemi agar perekonomian nasional bisa kembali tumbuh.

Kondisi perbankan nasional juga stabil dan sehat. Beberapa bank masih mencatat kenaikan keuntungan selama semester pertama tahun ini. Likuiditas dan asetnya terjaga degan baik. Rasio kredit macet alias NPL memang naik tapi masih di bawah batas psikologi 5%.

Ilustrasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2020 angkanya minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.)

Apakah Pertumbuhan Ekonomi RI Pernah Minus?

Sebelum pandemi terjadi, negara ini pernah mengalami dua kali pertumbuhan ekonomi minus. Yang pertama pada 1963. Penyebabnya adalah hiperinflasi.

Situasi politik luar negeri yang memanas menyeret Indonesia pada kondisi perekonomian yang pelik. Menurut buku Perekonomian dalam Perspektif Waktu yang ditulis oleh Sofyan Saleh, kebijakan politik Indonesia yang konfrontatif pada 1963 membuat pengeluaran pemerintah membengkak. Pengeluaran besar itu yang memicu hiperinflasi.

Presiden Soekarno kala itu membuat gebrakan kebijakan politik. Beberapa kebijakan tersebut ialah konfrontasi dengan Malaysia, pembentukan konsep The New Emerging Forces (Nefo) dan The Old Established Forces, hingga keputusan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Sebenarnya, perekonomian Indonesia tumbuh pesat hingga tercipta surplus transaksi sebesar US$ 25 juta pada 1959. Namun, kondisi kas negara semakin memburuk karena belanja besar-besaran pemerintah berbanding terbalik dengan penerimaannya.

Kas negara semakin susut ketika RI menjadi tuan rumah Asian Games pada 1962. Banyak proyek dibangun, termasuk Hotel Indonesia, kompleks Gelora Senayan, Gedung TVRI, Wisma Warta, Tugu Selamat Datang, Pelebaran Jalan Thamrin-Sudirman, Jembatan Semanggi, Pembangunan Monas, Masjid Istiqlal dan Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Pembangunan proyek raksasa di bawah kepemimpinan Soekarno ini mendapat kritik tajam dari dalam negeri. Pasalnya, negara mengalami defisit anggaran besar-besaran, dari 29,7% pada 1961, kemudian 38,7% pada 1962; 50,8% di 1963; 58,4% 1964; hingga 63,4 di tahun berikutnya. Defisit anggaran terus terjadi dan Indonesia mengalami hiperinflasi hingga 600% pada 1965.

Kebijakan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 1963 untuk menggenjot ekspor pun tidak mampu mengatasi krisis ekonomi. Upaya menurunkan laju inflasi melalui redenominasi dan sanering pun tidak membuahkan hasil. Krisis ini menjadi salah satu penyebab berakhirnya Orde Lama.

Laju inflasi melambat setelah Presiden Soeharto menurunkan tensi politik Tanah Air dengan begabung kembali dengan PBB dan mendapat dana bantuan dari Badan Moneter Internasional atau IMF. Perekonomian dalam negeri tumbuh pesat, imbas kenaikan harga minyak alias oil boom pada 1970 sampai 1980.

Melansir data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada periode itu kontribusi minyak sangat besar ke penerimaan negara. Pada periode 1970 hingga 1975 penerimaan engara naik 619% menjadi Rp 1,7 triliun.

Perekonomian RI mulai menurun pada 1990an. Kondisi memburuk ketika Indonesia terseret krisis finansial Asia pada 1997. Krisis yang bermula dari Thailanda itu memicu penurunan nilai rupiah. Inflasi meroket hingga mencapai 80% pada 1998 dengan pertumbuhan ekonomi minus.

IMF kemudian memberikan dana penyelamatan senilai US$ 43 miliar dengan tenor tiga tahun pada Oktober 1997. Melansir dari Tirto.id, pada 15 Januari 1998, pemerintah RI dan IMF menyepakati kucuran dana yang diiringi paket kebijakan deregulasi, termasuk pencabutan monopoli Bulog, privatisasi, dan penghapusan retribusi.

Pada April hingga minggu pertama Mei 1998, Soeharto dan IMF membuat konsesi mencakup rencana perpanjangan subsidi pangan dan bahan bakar serta melikuidasi bank bermasalah. IMF kembali menggelontorkan pinjaman ke Indonesia, hampir US$ 1 miliar, pada 4 Mei di tahun tersebut.

Sehari setelah itu, seiring kenaikan harga bahan bakar minyak dan sembako serta dana talangan IMF, kerusuhan meletus di Medan. Kerusuhan ini kemudian melebar ke berbagai daerah, termasuk Jakarta. Kondisi politik yang semakin panas membuat Soeharto memutuskan lengser  pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa.

Krisis moneter mengakhiri kekuasaan Orde Baru dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus terkontraksi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 0% di triwulan IV-1997 dan terus memburuk hingga minus 7,9% di triwulan I-1998. Kontraksi terus terjadi di triwulan II yang mencapai minus 16,5% dan minus 17,9% di triwulan III 1998.

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Reporter: Agatha Olivia Victoria