Pandemi Covid-19 membuat regulator harus sigap dalam mengambil keputusan, terutama untuk mengantisipasi gejolak pada sistem keuangan. Pemerintah dan DPR tengah mempertimbangkan untuk menata ulang kewenangan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjaminan Simpanan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Meski demikian, independensi bank sentral akan dijaga.
Presiden Joko Widodo memastikan bank sentral akan tetap independen. Pernyataan ini diberikan menanggapi rencana revisi undang-undang BI yang draf awalnya tengah disusun DPR. Dikutip dari Reuters, Jokowi pada Selasa (1/9) juga mengatakan tak akan mengeluarkan keputusan darurat seperti peraturan pengganti undang-undang atau perppu untuk mengubah kewenangan BI.
Namun demikian, sumber Katadata di pemerintah mengatakan akan terdapat perubahan mekanisme antar regulator sistem keuangan. Hanya saja, independensi BI dipastikan tak akan diganggu. Pembentukan dewan moneter seperti yang diusulkan oleh DPR kemungkinan tak akan dilakukan.
Dewan moneter sempat dibentuk pada masa orde lama. Saat itu, Bank Indonesia bekerja di bawah pemerintah dan kebijakan moneter ditetapkan oleh dewan moneter. Setelah krisis keuangan Asia, BI akhirnya mendapatkan independensi melalui Undang-uundang Nomor 23 Tahun 1999.
Masih menurut sumber, penataan ulang sistem keuangan dinilai penting lantaran belum diketahui seberapa dalam dan panjang krisis ekonomi yang akan dihadapi akibat pandemi Covid-19. Adapun meski BI tetap independen, fungsinya akan kembali ditegaskan yakni mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter.
Pemerintah juga ingin memperkuat komite stabilitas sistem keuangan dan peran lembaga penjamin simpanan. Saat ini, KKSK hanya berfungsi sebagai koordinator sehingga menteri keuangan tak memiliki kewenangan yang bukan sekadar koordinasi untuk memanggil lembaga-lembaga lain. Padahal, ini penting dalam situasi mendesak.
Adapun kewenangan LPS akan diperkuat sehingga dapat melakukan monitoring terhadap perbankan. Dengan demikian, LPS tak hanya menerima bank yang sudah sakarat.
Sementara itu, pengawasan bank kemungkinan dikembalikan ke Bank Indonesia. Meski demikian, OJK tak akan dibubarkan.
Lembaga yang berdiri belum satu dekade ini hanya akan melakukan pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal seperti halnya Bapeppam LK sebelum OJK terbentuk. Hanya saja, OJK tetap independen dan tak berada di bawah Kementerian Keuangan.
Kabar kembalinya pengawasan bank dari OJK ke bank sentral sudah berhembus sejak masalah bertubi-tubi muncul pada industri keuangan pada awal tahun ini, seperti gagal bayar Jiwasraya dan masalah salah investasi Asabri. Permasalahan pada sejumlah perusahaan jasa keuangan yang kian pelik akibat pandemi corona, seperti yang sempat terjadi pada Bukopin membuat Jokowi kian kecewa.
Jokowi pun dikabarkan menimbang untuk mengeluarkan ketetapan darurat guna mengembalikan pengawasan ke bank sentral. Adapun hingga kini, kabar tersebut belum dapat dikonfirmasi secara resmi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah memberikan sinyal terkait kemungkinan penataan kewenangan ketiga lembaga ini. Pandemi Covid-19, menurut dia, berpotensi memunculkan kondisi yang tak biasa dan harus direspons dengan cepat guna mengantisipasi gangguan lebih luas pada stabilitas sistem keuangan.
"Pemerintah akan melihat seluruh konstruksi hukum yang ada, dari sisi peraturan perundang-undangan yang mengatur stabilitas sistem keuangan, mulai dari Undang-Undang BI, OJK, LPS, dan KKSK," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita pada pekan lalu.
Saat ini, sudah ada proses legislasi yang berkembang di DPR lantaran telah masuk dalam program legislasi nasional. Prioritas pembahasan rancangan undang-undang tersebut tak lepas dari kesepakatan dengan pemerintah.
Kendati demikian, menurut dia, kondisi krisis saat ini dapat memunculkan situasi yang mendesak dan harus segera diantisipasi sementara landasan hukum yang ada belum memadai. Untuk itu, pemerintah tengah mengidentifikasi langkah-langkah untuk mengantisipasi bagaimana jika dibutuhkan pengambilkan keputusan yang belum dilandasi oleh kerangka hukum yang memadai.
Revisi Undang-Undang BI, OJK, dan Perbankan masuk dalam program legislasi nasional 2020-2024. Berdasarkan informasi dari situs DPR, ketiga revisi UU ini disiapkan oleh pemerintah dan DPR.
Selain ketiga revisi UU tersebut, ada pula rancangan undang-undang tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan atau omnibus law yang masuk dalam daftar prolegnas. RUU ini disiapkan oleh pemerintah.
DPR telah merampungkan draf awal revisi UU BI. Dalam rancangan awal yang disusun DPR itu, diusulkan pembentukan dewan moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dan beranggotakan salah seorang menteri perekonomian, Guberur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua OJK. Dewan Moneter bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak.
Adapun pembentukan dewan moneter ini bertujuan membantu pengambilan kebijakan moneter. Selain pembentukan dewan moneter, revisi undang-undang tersebut juga mengatur keterlibatan pemerintah dalam keputusan rapat dewan gubernur yang diadakan setiap bulan yang antara lain menentukan arah suku bunga acuan. Pemerintah dapat mengirimkan perwakilan yakni seorang atau lebih menteri dibidang perekonomian yang memiliki hak bicara dan hak suara dalam rapat.
Untuk itu, pasal 9 yang mengatur independensi BI atau melarang pihak lain ikut campur dalam keputusan bank sentral dihapus. Draf RUU ini memasukkan pasal terkait pengembalian wewenang pengawasan bank dari OJK ke BI.
Namun, Anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno mengatakan draft RUU tersebut masih rancangan awal atau mendapat masukan dari lembaga terkait.
"Jadi masih terus dimatangkan dengan menyerap aspirasi para pihak terkait," kata Hendrawan kepada Katadata.co.id, Selasa (1/9).
Kendati demikian, menurut dia, revisi undang-undang sebenarnya membutuhkan waktu yang cukup lama yakni antara tiga hingga empat masa sidang atau satu hingga dua tahun. Untuk itu, DPR masih menunggu sikap pemerintah terkait reformasi sistem keuangan.
"DPR masih menunggu sikap pemerintah akan memilih opsi revisi UU BI dan OJK, omnibus law, atau opsi perppu," ujarnya.
Menanggapi draf revisi UU BI, Sri Mulyani mengatakan belum melakukan pembahasan dengan DPR. Namun, pemerintah akan mengukuti proses legislasi yang ada di lembaga legislatif tersebut.
Sementara itu, sejumlah ekonom khawatir dampak dari rencana pemerintah merombak kewenangan regulator sistem keuangan di tengah pandemi Covid--19. Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menilai rencana tersebut tidak logis dan dapat berbahaya pada stabilitas sistem keuangan dan moneter Tanah Air. Ada beberapa alasan yang mendukung argumentasinya tersebut.
Pertama, tidak ada satu negara pun yang merombak struktur sistem moneter dan keuangan di tengah krisis pandemi Covid-19. Bahkan, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari Indonesia, tidak melakukan perubahan tersebut. Kedua, perombakan tersebut akan memberikan kesan pemerintah sedang bingung dan panik. "Kesan ini akan jelek efek berantainya," kata Dradjad.
Hal yang sama diungkapkan Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani. Dia menilai bahwa Perppu tersebut bisa membawa sentimen negatif bagi pelaku pasar karena ketidakstabilan di sistem keuangan dalam negeri. Sebenarnya kondisi sektor keuangan saat ini masih baik-baik saja sehingga perubahan aturan yang signifikan belum diperlukan.