Manuver Revisi Empat UU Pajak lewat Omnibus Law Cipta Kerja

Alexander Ishchenko/123rf
Ilustrasi. Klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja diperkirakan menggerus penerimaan pajak pada tahun depan.
Penulis: Agustiyanti
6/10/2020, 19.19 WIB

Pemerintah akhirnya memasukkan poin-poin omnibus law perpajakan dalam Undang-undang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR pada Senin (5/10). Terdapat 26 pasal dalam empat UU terkait perpajakan yang direvisi melalui satu bab dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Keempat UU yang direvisi yakni aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah.

Revisi UU PPh antara lain dilakukan pada pasal 2 terkait subjek pajak luar negeri. Pemerintah mengubah rezim perpajakan wajib pajak orang pribadi dari worldwide income tax system menjadi teritorial.

Warga Negara Asing yang tinggal lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan menjadi subjek pajak luar negeri, sedangkan WNI yang berada di luar Indonesia dalam periode yang sama serta memenuhi sejumlah persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.

Keistimewaan diberikan pemerintah pada WNA yang memiliki keahlian tertentu yakni dengan memberikan insentif pembebasan PPh selama empat tahun sejak ditetapkan sebagai subjek pajak dalam negeri. Insentif bagi tenaga ahli asing itu diberikan dalam rangka menggenjot investasi.

Langkah lain juga dilakukan pemerintah dengan memberikan pembebasan PPh untuk dividen dari dalam negeri maupun luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia. Namun, khusus dividen dari luar negeri, penghapusan pajak dilakukan jika investasi paling sedikit mencapai 30% dari laba setelah pajak dan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tak diperdagangkan di BEI.

Poin-poin tersebut masuk dalam perubahan pasal 4 terkait objek pajak yang dikecualikan. Selain dividen, penambahan objek PPh yang dikecualikan mencakup setoran dana haji dan dana yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji, serta sisa dana lebih lembaga sosial dan keagamaan. Ketiga lembaga tersebut kini dibebaskan dari pembayaran PPh.

Tak hanya memberikan insentif, pemerintah meringankan sanksi dan denda perpajakan dengan mengubah sejumlah pasal dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sanksi administrasi atas keterlambatan pembetulan dan penyetoran pajak diubah dari sebesar 2% per bulan menjadi suku bunga acuan BI ditambah 5% dibagi 12 bulan. Dengan suku bunga acuan BI saat ini sebesar 4%, maka bunga atas sanksi administrasi menjadi 1,5% per bulan dari total kurang bayar pajak.

Di sisi lain, ketentuan imbalan bunga atas keterlambatan pembayaran pengembalian pajak yang harus dibayar pemerintah juga diturunkan dari 2% per bulan menjadi suku bunga acuan dibagi 12 bulan. Dengan kondisi suku bunga saat ini, maka imbahan bunga turun menjadi 0,33% per bulan.

Denda yang lebih ringan juga diberikan pemerintah pada ketentuan terkait pasal penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam pasal 44B UU KUP, Menteri Keuangan Sri Mulyani dapat meminta Jaksa Agung menghentikan penyidikan paling lama 6 bulan sejak tanggal surat permintaan. Namun, penghentian penyidikan dapat dilakukan jika wajib pajak melunasi utang atau kurang bayar pajak ditambah dengan denda empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Dalam omnibus law, besaran denda dipangkas menjadi tiga kali dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.

Upaya pemerintah untuk membantu pengusaha dalam bidang perpajakan tak sampai di situ. Ketentuan pajak daerah yang selama ini menjadi momok bagi para pengusaha turut diatur dalam omnibus law.

Pemerintah menyelipkan satu bab terkait kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi dalam pasal 114 UU Cipta Kerja yang mengatur sejumlah ketentuan perubahan pada UU Nomor 28 Tahun 2009. Dalam bab tersebut, pemerintah pusat dapat mengatur tarif pajak dan retribusi daerah sesuai dengan kebijakan fiskal nasional.

Ilustrasi penerimaan pajak. (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/aww.)

Evaluasi juga akan dilakukan pemerintah pusat pada peraturan daerah terkait PDRB untuk menguji kesesuaikan antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kebijakan fiskal nasional.

Sementara itu, revisi dalam UU PPN dan PPnBM, mencakup pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambialalihan usaha, serta pengalihan untuk setoran modal pengganti saham. Kemudian pengkreditan barang dan/atau jasa dan/atau ekspor kena pajak, pajak masukan atas perolehan barang kena pajak, ompor barang kena pajak, serta pemanfaatan barang kena pajak di luar dan dalam daerah pabean.

Ancam Penerimaan Negara Tahun Depan

Pengamat pajak dari DDTC Bawono menjelaskan, klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja akan berpengaruh pada penerimaan negara tahun ini,  Namun, kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kemudahan dan kepastian berusaha yang  dapat berdampak positif pada penerimaan pajak dalam jangka panjang. 

"Ini merupakan langkah strategis pemerintah untuk memulihkan ekonomi. Tanpanya upaya optimalisasi seperti ini penerimaan justru akan lebih menantang," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10). 

Kemudahan dan kepastian berusaha, menurut dia, adalah kunci bagi investasi dan daya saing Indonesia. Secara tidak langsung, menurut dia, ini akan menjadi kunci perluasan basis pajak.

"Khusus untuk kepastian hukum dalam perpajakan dengan mengurangi sanksi dan denda diharapkan akan meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela, katanya. 

Penerimaan pajak pada tahun depan, menurut Bawono, tetap akan menantang. Hal ini lantaran  pemulihan penerimaan pajak yang biasanya lebih lambat dari perekonomian. "Umumnya pemulihan pajak akan lebih lambat dari ekonomi," katanya. 

Sementara itu, pengamat pajak dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai klaster perpajakan dalam Omnibus Law sangat berpihak pada kepentingan pengusaha. Hasil dari berbagai insentif yang diberikan pemerintah pun belum tentu berdampak signifikan pada perekonomian, sedangkan penerimaan negara sudah pasti akan tergerus. 

"Penerimaan negara dalam jangka panjang sendiri akan sangat bergatung pada bagaimana langkah pemerintah memperluas basis pajak. Kondisi saat ini, DJP masih menggunakan cara kuno untuk meningkatkan basis pajak," kataya.

 Ditjen Pajak Suryo pada Februari lalu memperkirakan berbagai insentif pajak yang semula akan diatur dalam omnibus law perpajakan berpotensi memangkas penerimaan negara lebih dari Rp 80 triliun. Namun, potensi tersebut menghitung pula dampak penurunan PPh pajak badan yang pada akhirnya diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Adapun diskon pajak yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 sesuai dengan rencana pemerintah dalam rancangan omnibus law perpajakan. Tarif PPh Badan akan diturunkan dari 25% saat ini menjadi 22% mulai tahun pajak  2020 dan 2021, kemudian menjadi 20% mulai tahun pajak 2022.

Meski diskon pajak belum berlaku pada tahun ini, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memperkirakan penerimaan pajak pada tahun ini mengalami kekurangan atau shortfall mencapai Rp 500 triliun dari target awal APBN 2020. 

"Penerimaan pajak kami perkirakan Rp 500 triliun tidak akan terkumpul dari target awal APBN.  Kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan seperangkat insentif pajak," ujar Suahasil  dalam acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) IX 2020, Selasa (6/10).

Pemerintah dua kali memangkas target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 443,8 triliun dari target dalam Undang-undang APBN 2021 melalui Perpres Nomor 54 dan 72. Dengan proyeksi kekurangan penerimaan Rp 500 triliun dari UU APBN 2020, maka penerimaan pajak pada akhir tahun ini akan mencapai Rp 1.142,6 triliun atau lebih rendah dari target terakhir yang dibuat pemerintah Rp 1.198 triliun. 

Sementara dalam APBN 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp 1.229,6 triliun, naik hanya 2,9% dibandingkan target pajak dalam perubahan kedua APBN 2020.  

Reporter: Agatha Olivia Victoria