Aturan Intervensi Pusat pada Pajak Daerah Dihapus dari UU Cipta Kerja

ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/foc.
Ilustrasi, Pemerintah dan DPR memutuskan untuk menghapus pasal yang merevisi UU pajak dan retribusi daerah dai UU Omnibus Law Cipta Kerja.
12/10/2020, 18.41 WIB

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menghapus pasal yang mengatur intervensi pusat dalam pajak dan retribusi daerah dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan demikian, aturan mengenai hal tersebut akan dituangkan dalam undang-undang baru.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu belum mau memberi tahu alasan lebih lanjut mengapa revisi aturan tersebut dihapus. "Nanti akan ada juga UU yang bisa mengatur itu dalam waktu dekat atau dalam waktu tahun depan kita lihat saja nanti," kata Febrio dalam media briefing dengan topik UU Cipta Kerja terkait Bidang Perpajakan, Senin (10/12).

Febrio menjelaskan, hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang berkelanjutan. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan bukan hanya karena adanya UU Cipta Kerja.

Pemerintah saat ini terus  membangun kesinambungan antara kebijakan dengan pembangunan. Untuk itu, perlu sinkronisasi pertumbuhan ekonomi nasional dengan perekonomian masing-masing daerah dalam menentukan suatu kebijakan mengenai pajak daerah.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar mengatakan poin kewenangan intervensi pemerintah pusat atas pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU Cipta Kerja memang seharusnya dihapus. Alasannya, intervensi tersebut dianggap memotong kewenangan pemerintah daerah.

Padahal, lanjut dia, memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah untuk mengatur keuangannya sendiri adalah bagian dari semangat reformasi. "Kewenangan intervensi pusat ini dianggap sebagai bentuk langkah mundur," ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).

Selain itu, kontribusi pajak daerah dalam penerimaan asli daerah cukup besar, setelah transfer dari pusat. Jika pemerintah pusat mengintervensi lalu memotong kewenangan daerah, penerimaan pajak daerah bisa menurun. Hal ini dapat membuat daerah semakin bergantung pada pusat.

Selain itu, intervensi kebijakan pusat pada pajak dan retribusi daerah berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum baru. Selama UU yang lama belum diubah, menurut dia, terdapat potensi kekacuan baru. "Pemda bisa saja berpegangan ada UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah namun pusat berpegangan pada omnibus law," kata Fajry.

Ia menduga penghapusan substansi terkait intervensi pajak oleh pemerintah pusay merupakan tekanan politik. Hal ini terlihat dari penolakan berbagai pemda atas Omnimbus Law Cipta Kerja.

Pemerintah dan DPR sebelumnya menyelipkan empat revisi undang-undang terkait perpajakan dalam RUU Omnimbus Law Cipta Kerja. Salah satunya, pengaturan tarif pajak dan retribusi daerah yang disesuaikan dengan kebijakan fiskal nasional.

Bentuk intervensi tersebut yakni mengubah tarif pajak dan retribusi daerah dengan penetapan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional. Kemudian, pemerintah pusat akan melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap peraturan daerah
mengenai pajak dan retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

Saat melakukan pengawasan, menteri keuangan akan memiliki kekuasaan untuk mengevaluasi baik rancangan peraturan daerah dan perda yang sudah ada. Hasil evaluasi yang dilakukan menteri keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan raperda.

Jika pemerintah daerah masih memberlakukan peraturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dicabut oleh presiden, akan dikenai sanksi penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil bagi daerah bersangkutan.

Reporter: Agatha Olivia Victoria