Pemerintah menilai reformasi struktural penting untuk mempercepat pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Apalagi, Indonesia menghadapi stagnansi pada peringkat kemudahan berusaha atau ease of doing bussines (EoDB ) dalam dua tahun terakhir.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan peringkat EoDB Indonesia stagnan di posisi ke-73 dari 190 negara dalam dua tahun terakhir. "Ini masih belum optimal," ujar Febrio dalam Webinar Strategi Pemulihan Ekonomi Pasca Covid-19 & Peningkatan Kemudahan Berusaha Indonesia, Selasa (20/10).
Jika dibandingkan beberapa negara Asia, Indonesia tertinggal dari Tiongkok yang berada pada peringkat 31, India 63, bahkan Vietnam di posisi 70. Menurut Febrio, beberapa peringkat indikator dalam EoDB Indonesia yang terkait dengan perizinan, hukum, dan perpajakan masih jauh di bawah negara lain. Indikator tersebut yakni memulai bisnis yang berada di peringkat 140 dari 190 negara, penegakan kontrak 139, perdagangan lintas batas 116, perizinan konstruksi 110, dan pendaftaran properti 106.
Peringkat daya saing Indonesia juga masih rendah akibat aspek ketenagakerjaan atau sumber daya manusia, inovasi, adopsi teknologi, dan lainnya.
Meski begitu, menurut Febrio, ada lima indikator yang berhasil diperbaiki Indonesia. Pertama, indikator memulai bisnis yang didukung peluncuran platform online untuk perizinan usaha. Kedua, akses listrik yang didukung peningkatan pasokan dan kapasitas.
Ketiga, aspek pembayaran pajak juga meningkat didukung impelementasi pelaporan dan sistem pembayaran online bagi sebagian besar jenis pajak. Keempat, aspek perdagangan lintas batas meningkat didukung sistem online deklarasi bea cukai untuk ekspor. "Ini dianggapp mampu memangkas compliance time sebanyak 7 jam," kata Febrio.
Kelima, aspek penegakan kontrak yang didukung implementasi sistem manajemen. "Indonesia tetap memerlukan terobosan baru yang dapat memperbaiki iklim investasi nasional," katanya.
Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Menilet mengatakan EoDB memang sering dijadikan acuan untuk investasi. Dengan meningkatnya peringkat EODB, ada potensi peningkatan rencana investasi, khususnya dari investor asing.
Peningkatan investasi pun diharapkan bermuara pada pertumbuhan ekonomi. "Hanya saja EODB mempunyai kekurangan dalam meng-capture beberapa hal," ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (20/10).
Menurut Yusuf, hal yang paling terlihat ialah EoDB untuk peringkat hanya melakukan pengukuran pada dua kota besar saja yaitu Jakarta dan Surabaya. Ini tidak dapat secara utuh menggambarkan proses deregulasi yang dilakukan di Indonesia. Apalagi, setiap daerah tentu mempunyai dinamika permasalahan yang berbeda.
EoDB juga dinilai menyederhanakan kompleksitas masalah dalam ekonomi pada beberapa poin penilaian saja. Perbaikan peringkat EODB yang sempat terjadi sebelum akhirnya stagnan pada 2018 dan 2019 tak tercermin pada deindustrialisasi dini yang terjadi. "Padahal industrialisasi merupakan salah satu langkah yang perlu ditempuh dalam upaya pemulihan ekonomi," kata dia.
Peringkat daya saing yang tertinggal menjadi salah satu alasan pemerintah perlu menerbitkan UU Cipta Kerja. Omnibus Law yang disahkan dalam rapat Paripurna DPR RI pada 5 Oktober 2020 bertujuan menyelesaikan hambatan dan memperbaiki iklim investasi di dalam negeri
Berdasarkan Laporan EoDB 2020, peringkat kemudahan berbisnis Indonesia stagnan di 73. Kendati demikian, skor EoDB yang diperoleh Indonesia meningkat tipis dari 68,2 pada 2019 menjadi 69,6. Selain itu, Bank Dunia menilai Indonesia agresif dalam melakukan reformasi kemudahan berbisnis setelah Tiongkok.
Namun, masih terdapat lima indikator yang di bawah skor EoDB. Indikator ini adalah penegakan kontrak sebesar 49,1, pendaftaran properti 60, dan perizinan konstruksi 66,8. Selanjutnya, perdagangan lintas batas 67,5 dan penyelesaian pailit 68,1.
Bank Dunia pada akhir bulan lalu mengumumkan penghentian sementara publikasi laporan "Doing Business" untuk menyelidiki penyimpangan pengumpulan data dalam peringkat tahunan iklim bisnis dan investasi negara.
“Publikasi laporan Doing Business akan dihentikan sementara saat kami melakukan penilaian,” kata Bank Dunia.
Laporan Doing Business telah lama menjadi kontroversi karena memeringkat negara-negara berdasarkan indikator bagaimana birokrasi dan peraturan pemerintah mempengaruhi - dan seringkali membatasi - daya tarik mereka sebagai tujuan investasi bisnis.
Laporan ini mendapat kecaman pada awal 2018 ketika kepala ekonom Bank Dunia saat itu, Paul Romer, mengatakan perubahan metodologis pada laporan itu mungkin bias terhadap Presiden Chili saat itu, Michelle Bachelet.