Sri Mulyani Respons Penilaian Fitch soal Dampak LPI ke Utang BUMN

Katadata
Menteri keuangan Sri Mulyani menyebut LPI dapat berinvestasi pada proyek-proyek BUMN maupun swasta.
23/3/2021, 16.59 WIB

Fitch Ratings menilai, kehadiran Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority belum mampu  menurunkan utang badan usaha milik negara dalam jangka pendek. Lembaga pemeringkat global ini beralasan modal LPI relatif kecil dibanding skala utang seluruh BUMN.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penilaian tersebut wajar mengingat LPI baru berusia satu bulan. Lembaga itu juga  baru menerima suntikan modal negara pada awal Januari 2021. Jajaran direksi LPI saat ini  masih menyiapkan proses transaksi pertama. "Sehingga dalam hal ini agak terlalu dini untuk berkomentar," ujar Sri Mulyani  yang juga menjabat sebagi ketua dewan pengawas LPI dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Maret 2021, Selasa (23/3).

Ia akan melihat langkah-langkah lanjutan yang akan dilakukan INA dalam satu tahun ke depan, termasuk pencapaian target dan yang berkaitan dengan kemampuan menarik dana dari luar negeri. Kemampuan tersebut diharapkan mendorong investasi di Indonesia. "Tentunya investasi yang dilakukan bisa melalui BUMN maupun non-BUMN," katanya.

Direktur Korporasi PT Fitch Ratings Indonesia Olly Prayudi mengatakan, modal INA cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan skala utang BUMN yang bergerak di sektor strategis seperti konstruksi, jalan tol, minyak, dan gas. "Misalnya, total utang perusahaan konstruksi milik negara Indonesia lebih dari Rp 170 triliun per akhir September 2020 dan utang PT Pertamina sekitar Rp 300 triliun per akhir Juni 2020," kata Olly dalam keterangan resminya, Senin (22/3).

Pemerintah membentuk INA dengan tujuan mendatangkan investasi dari luar negeri. Modal dasarnya terdiri dari suntikan dana awal sebesar Rp 15 triliun, dan terdapat rencana penambahan Rp 60 triliun aset pada akhir tahun 2021 dalam bentuk kas, aset negara, piutang pemerintah, dan saham BUMN atau perseroan terbatas.

Menurut Olly, INA dapat berinvestasi di proyek-proyek yang dipimpin BUMN dan swasta, serta memiliki wewenang untuk meminjamkan dan meminjam. Dengan begitu, lembaga tersebut berpotensi mengurangi tingkat utang yang tinggi di BUMN, terutama di bidang infrastruktur yang selama ini membatasi kapasitas mereka untuk meningkatkan investasi. Namun, hal tersebut bergantung pada keputusan strategis perusahaan yang terlibat.

Di sisi lain, menurut dia sebenarnya terdapat risiko terkikisnya bantuan modal yang diberikan oleh INA jika BUMN menyalurkan kembali dana yang dikeluarkan untuk proyek infrastruktur baru. "Risiko ini cukup besar mengingat keinginan pemerintah untuk mempercepat investasi tersebut," katanya.

Maka dari itu, Olly berpendapat bahwa kapasitas INA untuk memobilisasi dana dapat diperkuat jika lembaga itu mampu menyalurkan modal luar negeri untuk investasi infrastruktur Indonesia. Sejumlah dana asing dan badan pembangunan yang didukung negara, seperti Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional AS telah menunjukkan minat dalam kemitraan investasi dengan INA.

Meski demikian, INA dinilai belum bisa mendapatkan kontribusi modal eksternal dan mobilisasi tersebut lebih mungkin dilakukan dalam jangka panjang. "Mengatasi masalah terkait kebijakan yang telah menghambat minat investor juga dapat membantu INA untuk menarik investasi jangka panjang," ujar dia.

Reporter: Agatha Olivia Victoria