Imbas Pandemi, Utang Luar Negeri RI Membengkak Jadi Rp 6.013 Triliun
Bank Indonesia melaporkan, utang luar negeri Indonesia pada Februari 2021 sebesar US$ 422,6 miliar atau setara Rp 6.013,17 triliun dengan asumsi kurs Jisdor akhir periode yang sama. Posisi ULN Ini tumbuh 4% dibandingkan Februari 2020 didorong oleh utang pemerintah dan swasta.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, ULN pemerintah tumbuh 4,6% secara tahunan menjadi US$ 209,2 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada Januari 2021 sebesar 2,8%. Meski demikian, menurut dia, ULN pemerintah tetap terkendali dan dikelola secara terukur.
"Peningkatan seiring upaya penanganan dampak Covid-19 sejak tahun 2020 dan akselerasi program vaksinasi, serta perlindungan sosial pada kuartal I 2021," kata Erwin dalam siaran pers, Jumat (16/4).
Menurut Erwin, pemerintah tetap mengelola ULN secara terukur dan berhati-hati untuk mendukung belanja prioritas. Belanja yang dimaksud antara lain sektor administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib (17,7% dari total ULN pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,2%), sektor jasa pendidikan (16,3%), sektor konstruksi (15,3%), dan sektor jasa keuangan dan asuransi (12,7%).
Adapun dalam memenuhi target pembiayaan APBN, pemerintah saat ini sebenarnya memprioritaskan dan mengoptimalkan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Sementara pinjaman luar negeri hanya sebagai pelengkap.
Pemerintah, menurut Erwin, juga lebih mengutamakan pengadaan utang dengan tenor menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang.
Di sisi lain, ULN swasta juga tetap didominasi oleh utang jangka panjang. Pertumbuhan ULN swasta tercatat 3,4% secara tahunan menjadi US$ 210,5 miliar, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya 2,5%.
"Didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 78% terhadap total ULN swasta," ujar dia.
Perkembangan ini didorong oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) sebesar 5,9%, lebih tinggi dari pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 5,1%. Peningkatan antara lain didorong oleh penerbitan surat utang global korporasi di sektor pertambangan.
Adapun ULN lembaga keuangan terkontraksi 4,9%, lebih rendah dari kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 6,1%. Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar dengan pangsa mencapai 77,3% dari total ULN swasta bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan.
Meski tumbuh lebih tinggi, BI menilai struktur ULN Indonesia tetap sehat yang didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. ULN yang tetap terkendali tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto yang tetap terjaga di kisaran 39,7%, relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 39,6%.
"Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat yang ditunjukkan oleh dominasi ULN berjangka panjang dengan pangsa mencapai 89% dari total ULN," kata Erwin.
Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan meminimalisir risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Kementerian Keuangan mencatat, jumlah utang pemerintah hingga Februari 2021 mencapai Rp 6.361,02 triliun atau naik 28,55% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang memcapai Rp 4.948,18 triliun.
Posisi utang pemerintah tersebut setara dengan 41,1% dari PDB. "Peningkatan rasio utang Indonesia di masa pandemi merupakan salah satu yang terkecil," bunyi buku APBN KiTa edisi Maret 2021 dikutip Senin (29/3).
Pandemi Covid-19 meningkatkan beban utang sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap IMF dan Bank Dunia dapat mendukung negara-negara di seluruh dunia mengelola beban utangnya secara efektif.
"Kami membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang lebih besar dari Bank Dunia dan IMF untuk mengatasi masalah utang dan mengurangi tekanan yang meningkat," ujar Sri Mulyani pada Komite Pembangunan / Development Commitee (DC) World Bank Spring Meeting 2021 pada akhir pekan lalu, seperti dikutip dari laman Kementerian Keuangan.
Pandemi Covid-19, menurut dia, memberikan tekanan pada keuangan sektor publik. Oleh karena itu, ia juga meminta lembaga-lembaga tersebut untuk meningkatkan akses negara-negara berpenghasilan rendah terhadap vaksin dan membantu pemulihan pertumbuhan ekonomi mereka.