Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tahun naik 9,5% menjadi Rp 1.506,9 triliun dari outlook tahun ini Rp 1.506,9 triliun. Kendati tumbuh hampir dua digit, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, target tersebut belum berhasil kembali ke pencapaian normal sebelum pandemi Covid-19.
"Penerimaan perpajakan 2022 sebesar Rp 1.506,9 triliun. Nilai itu masih lebih sedikit di bawah penerimaan perpajakan tahun 2019. Artinya, penerimaan perpajakan kita belum pulih dibandingkan sebelum pandemi," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (25/8).
Berdasarkan komponennya, penerimaan perpajakan terdiri atas penerimaan pajak, serta penerimaan kepabeanan dan cukai. Penerimaan pajak tahun depan ditargetkan sebesar Rp 1.262,9 triliun, tumbuh 10,5% tetapi masih di bawah pencapain prapandemi. Ia optimistis, penerimaan pajak akan meningkat lebih signifikan seiring pemulihan ekonomi.
Pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pembelian barang mewah (PPnBM) tahun depan sebesar Rp 552,3 triliun, melampaui capaian tahun 2019 Rp 531,6 triliun. Sementara pajak penghasilan (PPh) yang berkontribusi besar dalam postur penerimaan pajak ditargetkan Rp 680,9 triliun, lebih rendah dari capaian tahun 2019 sebesar Rp 772,3 triliun.
Sumber penerimaan pajak lainnya, yakni penerimaan pajak bumi dan bangunan tahun depan Rp 18,4 triliun. Sementara pajak lainnya tahun 2022 sebesar Rp 11,4 triliun, tertinggi sejak 2017.
Di sisi lain, komponen penerimaan kepabeanan dan cukai menunjukkan performa lebih baik. Penerimaan perpajakan jenis ini tahun depan tercatat sebesar Rp 244 triliun atau tumbuh 4,6% dari outlook tahun ini. Selain itu, secra nominal baik outlook 2021 maupun RAPBN 2022 juga sudah melampaui pencapaian sebelum pandemi.
"Penerimaan perpajakan dari bea dan cukai pertumbuhannya selalu positif bahkan dalam situasi Covid-19," kata Sri Mulyani.
Secara perinci, penerimaan kepabeanan dan cukai tahun depan terdiri atas, penerimaan cukai sebesar Rp 203,9 triliun. Serta penerimaan kepabeanan mencakup penerimaan bea masuk sebesar Rp 35,1 triliun dan bea keluar Rp 4,9 triliun.
Penerimaan perpajakan terus berada di bawah level normal dalam dua tahun terakhir. Sri Mulyani juga menyebut capaian tahun ini bahkan akan gagal memenuhi target awal atau shortfall. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan APBN 2021 sebesar Rp 1.444,5 triliun dan tumbuh 12,4%, namun hanya akan Rp 1.375,8 triliun atau naik 7,1%.
Hal serupa juga dari komponen penerimaan pajak yang akan mengalami shortfall 87,1 triliun. Nilai penerimaan pajak tahun ini diperkirkaan hanya Rp 1.142,5 triliun dari target awal Rp 1.229,6 triliun. Sementara dari sisi penerimaan kepabeanan outlook tahun ini sebesar Rp 233 triliun. Nilai ini bahkan telah kembali ke level sebelum pandemi dan tercatat penerimaan kepabeanan tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Sri Mulyani menjelaskan penerimaan perpajakan tahun depan akan menopang kenaikan pendapatan negara. Hal ini karena penerimaan dari komponen penerimaan negaar bukan pajak (PNBP) justru akan berkurang dari tahun ini Rp 357,2 triliun menjadi Rp 333,2 triliun. Ini kata Dia kemudian akan mempengaruhi penurunan target defisit dalam RAPBN 2022.
"Pendapatan tahun depan yang tumbuh positif dan belanja yang dikendalikan, maka defisitnya menjadi lebih rendah," kata Sri Mulyani.
Pendapatan negara dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 1.840,7 triliun, naik dari Rp 1.735,7 triliun outlook tahun ini. Sementara belanja pemerintah tahun depan sebesar Rp 2.708,7 triliun, juga naik dari outlook tahun ini Rp 2.697,2 triliun. Sehingga diperoleh defisit RAPBN 2022 sebesar Rp 868 triliun atau 4,85% terhadap APBN. Angka itu lebih rendah dari outlook defisit APBN 2021 sebesar 961,5 triliun atau 5,82% terhadap PDB.