Faisal Basri Minta Pemerintah Tambah Bansos, Setop Proyek Kereta Cepat
Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyoroti sikap pemerintah yang masih melanjutkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan ibu kota baru di tengah pemangkasan nggaran perlindungan sosial. Langkah ini dinilai tak tepat lantaran pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir.
"Kereta cepat kabarnya mau pakai anggaran SiLPA, tapi sekitar 9 jutaan orang yang dapat jaminan kesehatan nasional (JKN) justru akan dihapus," ujar Faisal dalam diskusi virtual Bincang APBN 2022, Senin (18/10).
Pemerintah berencana menghapus sekitar 9,7 juta penerima PBI-JKN. Dalam konferensi persnya akhir bulan lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyebutkan, penghapusan data akan mencakup 434.835 penerima PBI-JKN yang sudah meninggal, 2.584.495 juta data ganda, dan 833.624 data mutasi. Selain itu, terdapat 5.882.243 data yang tidak padan dengan data di Kependudukan dan Pencatat sipil (Dukcapil).
Adapun data mutasi, menurut Risma, adalah penerima PBI-JKN yang dinilai sudah mampu membayar sendiri tetapi masih menerima bantuan. Mereka akan dipindahkan ke kelas non-PBI.
Tidak lama setelah langkah penghapusan data PBI JKN, pemerintah justru menyetujui pengeluaran baru APBN untuk menambal biaya proyek kereta cepat. yang membengkak Biaya proyek ini dilaporkan membengkak US$ 1,9 miliar atau Rp 27 triliun.
"Kementerian Keuangan menurut saya fungsinya adalah rem, tunjukkan konsekuensi-konsekuensinya. Ibu Sri Mulyani dulu itu berani mengatakan tidak pada saat pembangunan monorel kepada wakil presiden, jadi ayo dikasih warning," kata Faisal.
Kementerian Keuangan menjelaskan, dukungan yang akan diberikan pemerintah melalui APBN dapat berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) dan penjaminan kewajiban. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 6 Oktober lalu.
"Kebutuhan dukungan pemerintah dalam menyelesaikan proyek KCJB adalah untuk pemenuhan base equity (modal dasar) dan cost overrun (pembengkakan biaya)," kata Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Tri Wahyuningsih Retno Mulyani dalam keterangan tertulisnya kepada Katadata.co.id, Senin (11/10).
Tri mengatakan, pemerintah masih menunggu hasil review dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguna (BPKP) untuk menentukan besaran APBN yang akan digunakan untuk menambah bengkaknya biaya proyek strategis nasional tersebut.
Keputusan Jokowi yang memperbolehkan APBN untuk digunakan menambal bengkaknya biaya kereta cepat Jakarta-Bandung menuai banyak sorotan. Jokowi sebelumnya telah berjanji proyek kereta cepat sepenuhnya menerapkan skema business-to-business (B2B) dan tidak akan menggunakan APBN sepeserpun.
Nanun, masalah keuangan terus melanda mega proyek tersebut. Proyek yang awalnya akan menghabiskan dana US$ 6,07 miliar, kini ditaksir membutuhkan US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.
Jokowi kemudian merespons masalah itu dengan membentuk Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendapat tugas khusus untuk memimpinnya. Sementara anggotanya terdiri atas Menteri keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri perhubungan Budi Karya Sumadi.