Kereta Cepat Bandung Bebani Rakyat, Sampai Kiamat Tidak Balik Modal
Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengingatkan besarnya beban anggaran negara di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Negara harus menanggung beban besar karena dia meyakini proyek tersebut tidak ekonomis dan tidak akan balik modal sampai kapanpun.
Faisal mengatakan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah ditolak dalam rapat koordinasi pemerintah. Kajian yang dilakukan Boston Consulting Group juga menolak proposal proyek tersebut.
Namun, Menteri BUMN pada saat itu, Rini Soemarno tetap bersikukuh untuk merealisasikan proyek kolaborasi Cina dan Indonesia tersebut.
"Nah itu yang harus kita bayar. Sebentar lagi rakyat yang akan membayar kereta cepat. Barang kali nanti ongkosnya Rp 400 ribu sekali jalan dan diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” ujar Faisal Basri dalam dialog virtual Gelora Talks 19- Covid-19 dan Ancaman Kebangkrutan Dunia Usaha, Rabu (13/10).
Faisal menambahkan Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu contoh proyek mubazir dan lebih menguntungkan investor Cina.
Seperti diketahui, Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan proyek kerja sama antara Indonesia-Cina.
Kedua negara membentuk perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang bertanggung jawab atas pengerjaan proyek.
Pemerintah Indonesia memiliki saham sebesar 60% di proyek tersebut di bawah bendera PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia. Dalam Pilar Sinergi BUMN Indonesia, terdapat empat BUMN yakni PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Kereta Api Indonesia.
Sementara itu,konsorsium Cina yang memiliki saham 40% terdiri dari China Railway International Co Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) diperkirakan mengalami pembengkakan biaya sekitar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27 triliun.
Pada awalnya, proyek tersebut diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar US$6,07 miliar atau Rp 86,8 triliun.
Namun, setelah proyek berjalan, biaya proyek tersebut diperkirakan mencapai US$8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.
"Ini kesimpulan saya, kesalahan ada di pucuk pimpinan. Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk 2 minggu senilai US$ 150 ribu menolak dua proposalnya tetapi Rini Soemarno yang berjuang. Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot dan presiden lebih memilih Rini Soemarno,"tuturnya.
Presiden Joko Widodo, pekan lalu, mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Melalui Perpres tersebut, Jokowi mengizinkan penggunaan APBN untuk mendukung proyek kereta cepat.
Penggunaan APBN dikritik banyak pihak karena dari awal Presiden Jokowi menegaskan tidak akan menggunakan anggaran negara untuk proyek tersebut.
Penggunaan APBN dikhawatirkan tidak hanya berhenti sampai proses konstruksi tetapi akan terus berlanjut sampai operasional.
"Buat saya ini proyek yang merugikan. investasinya sampai Rp100 triliun, belum lagi operasionalnya. Memangnya tiket mau dijual berapa?Rp1 juta?Nanti pakai subsidi (tiket) lagi, beban lagi kan (ke APBN), Memang mau pakai duitnya siapa?"tutur pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, kepada Katadata, Senin (11/10).
Proyek Kereta Cepat hanyalah satu dari beberapa proyek infrastruktur yang dinilai Faisal Basri mubazir.
Proyek lainnya di antaranya light rail transit (LRT) Palembang di Sumatera Selatan, Bandar Udara Kertajati di Jawa Barat, Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara.