Kementerian Keuangan akan menghapus ketentuan earmarking atau pengalokasian khusus Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk penanganan Covid-19.
Daerah kini bisa menggunakan anggaran DAU dan DBH untuk tujuan lain.
"Optimalisasi DAU dan DBH yang biasanya digunakan untuk penanganan Covid-19. Tadi diputusakan pak Presiden bisa digunakan tujuan lain karena kasus di daerah sudah jauh mereda,"tutur Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam konferensi pers, Senin (18/10).
Seperti diketahui, aturan earmarking DAU dan DBH untuk penanganan Covid-19 tertuang dalam eraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2021 dalam rangka Mendukung Penanganan Covid-19 dan Dampaknya yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 94 Tahun 2021.
Merujuk pada aturan tersebut, dukungan pendanaan untuk belanja kesehatan dan belanja prioritas dianggarkan melalui refocusing DAU dan/atau DBH dengan besaran:
1. Paling sedikit 8% Dana Alokasi Umum
2. Paling sedikit 8% Dana Bagi Hasil bagi daerah yang tidak mendapat alokasi DAU, serta penerimaan umum APBD jika pendanaan melalui DAU/DBH belum mencukupi.
"Ibu Menkeu akan menyiapkan aturan dan kebijakan yang diperlukan,"kata Airlangga.
Kasus Covid-19 di Indonesia terus menunjukan tren penurunan. Pada Senin (18/10), Indonesia melaporkan tambahan kasus sebanyak 626. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan yang tercatat pada puncak gelombang II Juli lalu di kisaran 56 ribu kasus.
Pada Senin (18/10), lima provinsi bahkan melaporkan 0 kasus yaitu Jambi, Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, meskipun ada refocusing DAU dan DBH untuk penanganan Covid-19, tetapi pelaksanaannya kurang optimal.
Data pada Juli lalu menunjukan, penyerapan belanja kesehatan dan belanja prioritas lainnya untuk penanganan Covid-19 yang bersumber dari earmarking DAU/DBH masih rendah.
Sebanyak 311 daerah (57,38%) realisasinya di bawah 15% dari anggaran dan hanya 12 daerah yang telah merealisasikan anggaran diatas 50%.
Seperti diketahui, pada awal tahun, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta kepada kepala daerah untuk menyediakan anggaran penanganan Covid-19 termasuk vaksinasi.
Pasalnya, biaya penanganan Covid-19 yang ditanggung pemerintah pusat sangat besar. Dengan adanya earmarking anggaran DBH dan DAU, pemerintah daerah diperkirakan bisa menyediakan anggaransekitar Rp35,1 triliun .
Namun, pada akhir Agustus, realisasi anggaran daerah untuk penanganan Covid-19 baru mencapai 4,2 triliun atau 11,9% dari pagu Rp 35,1 triliun.
Berdasarkan penggunaannya, realisasi anggaran untuk kebutuhan umum baru sebesar Rp 1,7 triliun atau 15,5% dari pagu Rp 10,7 triliun.
Anggaran ini dipakai untuk pengadaan obat, alat pelindung diri, serta makanan tambahan bagi isolasi mandiri (isoman).
Realisasi anggaran dukungan operasional untuk vaksinasi juga baru mencapai Rp 400 miliar atau 5,8% dari pagu Rp 6,5 triliun.
Lantaran realisasinya yang masih minim, Sri Mulyani berencana mengalihkan anggaran tersebut kepada sejumlah lembaga yang terlibat dalam vaksinasi seperti Polri, TNI, dan BKKBN.
Sementara itu, anggaran untuk dukungan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di kelurahan dan desa baru terpakai Rp 100 miliar atau 8% dari pagu Rp 1,1 triliun.
Anggaran untuk insentif tenaga kesehatan daerah yang baru terealisasi Rp 900 miliar atau 11,1% dari pagu Rp 8,1 miliar. Beberapa daerah bahkan ada yang belum menyalurkan insentif nakes atau realisasinya 0%.