Kementerian Keuangan menyusun sejumlah skema pembiayaan untuk menangani perubahan iklim. Salah satunya melalui platform SDG Indonesia One yang telah menarik dukungan dari sejumlah lembaga filantropi milik miliarder dunia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, SDG Indonesia One merupakan platform kerja sama pendanaan terintegrasi yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Adapun skema kerja samanya yaitu blended finance atau mengkombinasikan pendanaan oleh publik dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan dana swasta.
"Ada dari filantropi global, seperti Bloomberg yang sekarang mengkontribusikan untuk menanam mangrove. Ada Rockefeller, Jeff Bezos Amazon, dan juga pihak lainnya, serta lembaga-lembaga multilateral, seperti ADB, World Bank, AIIB,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Senin (15/11).
Bloomberg Philantropies sendiri telah masuk ke platform SDG Indonesia One melalui hibah sejak tahun lalu. Hibah tersebut diberikan untuk mendukung dua program transisi energi.
Pertama, program climate work foundation untuk studi dan evaluasi pemasangan panel surya di bandara. Dana hibah untuk program ini sudah diberikan pada April 2020. Kedua, program Vibrant Ocean Initiative dengan Rockefeller Philanthropy Advisory untuk program Desa Bakti Untuk Negeri (DBUN) III – Bajo Climate Village Program pada 25 Agustus.
Sri Mulyani juga sempat bertemu dengan Michael Bloomberg yang merupakan pendiri dari Bloomberg Philantropies bulan lalu. Pertemuan tersebut bersamaan dengan lawatannya ke New York untuk pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF.
Selain itu, pendiri Amazon sekaligus orang terkaya kedua dunia Jeff Bezos juga akan ikut serta mendukung penanganan perubahan iklim di dalam negeri. Dukungan tersebut tampaknya buah dari pertemuan Sri Mulyani dengan Bezos dalam agenda Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) terkait perubahan iklim edisi ke 26 (COP26) di Glasgow, Inggris awal bulan ini.
Sri Mulyani mengatakan, Bezos akan berinvestasi ke Indonesianya di bidang energi terbarukan dan manufaktur solar.
Selain sejumlah lembaga filantropi dan bank multilateral, dukungan melalui platform ini juga datang dari sejumlah organisasi internasional yang memang berfokus pada penanganan iklim. Dukungan tersebut berasal dari Green Climate Fund yang merupakan entitas pelaksanaan mekanisme keuangan di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
"GCF diperuntukkan bagi negara berkembang dan berpotensi membantu Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution tanpa membebani APBN," kata Sri Mulyani.
Rencananya, Sri Mulyani akan memakai skema yang sudah ada yakni Pooling Fund Bencana untuk menangani perubahan iklim. Platform ini sudah dibuat sejak 2018, dan bertujuan mengumpulkan pendanaan dari berbagai pihak untuk membantu menanggung dampak tingginya risiko bencana di Indonesia, termasuk perubahan iklim.
Pooling Fund Bencana ini dikelola satu pintu dengan dana lingkungan hidup oleh Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BLU BPDLH). Paltform ini akan membidik dana green finance yang berasal dari seluruh dunia. Adapun peruntukannya terutaam menyelematakna hutan dan konservasi lingkungan.
"Sekarang ini kita sedang terus menerus untuk memperkuat pooling fund, karena biaya dari bencana-bencana ini bisa mencapai Rp 20 triliun lebih per tahunnya,” kata Sri Mulyani.
Dukungan swasta menjadi penting mengingat butuh anggaran jumbo untuk mencapai target penurunan emisi karbon 29% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa estimasi biaya akumulatif yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai target tersebut sebesar Rp 3.779 triliun. Ini berdasarkan perhitungan dalam dokumen peta jalan (roadmap) NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkhungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)