Lembaga pemeringkatan Fitch Ratings mempertahankan peringkat utang Indonesia di posisi BBB (investment grade) dengan outlook stabil. Namun, lembaga ini memperingatkan utang pemerintah berpotensi terus meningkat dan berpotensi menembus 45,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan.
Fitch Ratings melaporkan, prospek pertumbuhan jangka menengah perekonomian Indonesia masih menguntungkan, diikuti rasio utang terhadap PDB yang masih rendah. Meski begitu, pandemi telah menyebabkan kenaikan signifikan dalam utang pemerintah Indonesia. Hal serupa terjadi di sebagian besar negara peers.
Lembaga pemeringkat ini juga memperkirakan utang pemerintah akan mencapai 43,1% terhadap PDB hingga akhir tahun ini, jauh di atas rasio utang sebelum pandemi yakni 30,6% pada tahun 2019. Meski demikian, rasio tersebut masih jauh di bawah median rasio utang rata-rata negara yang masuk peringkat BBB sebesar 60,3%.
"Kami memperkirakan rasio utang akan mencapai puncaknya 45,1% dari PDB pada tahun 2022 sebelum menurun secara bertahap, difasilitasi oleh dimulainya kembali pertumbuhan PDB yang kuat dan kebijakan fiskal yang lebih ketat," demikian tertulis dalam laporan terbaru Fitch Ratings yang dirilis Senin (22/11).
Kenaikan juga terlihat dari rasio utang terhadap pendapatan pemerintah menjadi 341% pada akhir tahun 2021. Ini jauh di atas rata-rata negara peers yang masuk peringkat BBB sebesar 253%.
"Menurut pandangan kami, pendapatan yang rendah dan kepemilikan non-penduduk yang tinggi atas utang dalam mata uang lokal akan memperburuk tantangan pembiayaan defisit yang lebih tinggi," tulis laporan tersebut.
Meski begitu, tantangan ini tampaknya mulai tertangani berkat kesepakatan antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia lewat SKB III. Melalui kerja sama ini, BI akan membeli surat utang pemerintah dengan bunga rendah. Beberapa pembelian juga disepakati menggunakan skema burden sharing alias berbagi beban yakni beban pemerintah atas penerbiatan surat utang 0%.
Kesepakatan ini membantu menekan biaya beban bunga yang ditanggung pemerintah. Namun, Fitch menilai kebijakan ini bukan tanpa risiko. Pembiayaan moneter yang berkepanjangan dinilai pada akhirnya dapat merusak kepercayaan investor dan membebani profil kredit Indonesia. Hal ini terutama jika pasar negara berkembang berada di bawah tekanan karena likuditas global yang mulai diperketat.
Secara keseluruhan, menurut Fitch Ratings, terdapat sejumlah faktor yang berpotensi menekan peringkat utang RI jatuh dari posisinya saat ini. Pertama, potensi peningkatan utang publik akibat kegagalan untuk mendorong defisit fiskal kembali ke level normal sebelum pandemi. Pemerintah menargetkan kembali ke defisit di bawha 3% pada tahun 2023.
Kedua, melemahnya kerangka kebijakan yang dapat merusak stabilitas makroekonomi. Ini diakibatkan oleh berlanjutnya pembiayaan moneter terhadap defisit dalam tahun depan.
Ketiga, potensi penurunan pada cadangan devisa akibat langkah exit policy negara-negara dunia. Ada potensi arus keluar yang berasal dari penurunan kepercayaan investor. Sejauh ini, langkah tapering off bank sentral AS masih menjadi penyulut utama kaburnya modal asing dalam beberpaa pekan terakhir.
Di sisi lain, Fitch juga melihat ada beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan peringkat RI. Beberapa kondisi pendukung tersebut antara lain, berkurangnya risiko gejolak eksternal, peningkatan pendapatan berkat reformasi perpajakan, serta perbaikan di sisi tata kelola pemerintah.
Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah pada September 2021 naik menjadi Rp 6.711,52 triliun. Nilainya naik Rp 954,65 triliun dari tahun lalu dan Rp 86,09 triliun dari bulan sebelumnya. Utang pemerintah setara 41,38% terhadap PDB.
Utang pemerintah terdiri atas dua jenis. Pertama, utang berbentuk SBN sebesar Rp 5.887,67 triliun yang menyumbang 88% dari total utang September. Kedua, utang dalam bentuk pinjaman sebesar Rp 823,85 triliun atau 12% dari total utang akhir September.