Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,08% ke level Ro 14.431 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Rupiah tertekan di tengah masih meningkatnya kekhawatiran terhadap penyebaran varian Omicron.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke arah Rp 14.437 pada pukul 10.00 WIB, kian melemah dari posisi penutupan akhir pekan lalu Rp 14.420 per dolar AS.
Mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Pelemahan pada yen Jepang sebesar 0,19%, dolar Hong Kong 0,01%, dolar Taiwan 0,05%, won Korea Selatan 0,29%, rupee India 0,24% dan ringgit Malaysia 0,04%. Sementara dolar Singapura menguat 0,1% bersama peso Filipina 0,02%, yuan CIna 0,12% dan bath Thailand 0,09%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah di kisaran Rp 14.450 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di level Rp 14.380. Tekanan terhadap rupiah masih dipengaruhi kekhawatir terhadap varian baru Covid-19 Omicron.
"Kekhwatiran pasar terhadap perkembangan virus Omicron masih memberikan sentimen negatif ke pasar aset berisiko pagi ini. Sebagian indeks saham Asia terlihat bergerak negatif," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (6/12).
Varian baru Omicron pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan yang kemudian menyebar di sebagian besar negara-negara di selatan Benua Afrika. Omicron kini mulai menyebar di lebih dari 20 negara di dunia, termasuk beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Kekhawatiran terhadap lonjakan Omicron sempat mereda di awal minggu lalu setelah seorang dokter di Afrika Selatan mengonfirmasi bahwa gejala Omciron cenderung lebih ringan. Namun, tekanan terhadap aset berisiko meningkat setelah kasus pertama ditemukan di California pertengahan minggu lalu. Tekanan pun makin meningkat usai sejumlah pejabat AS memperingatkan risiko dampak Omciron.
Menteri Keuangan AS memperingatkan lonjakan Omicron dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar dunia itu. Dampaknya juga akan memperburuk masalah rantai pasok sehingga mendorong inflasi bisa bertahan lebih lama.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah mengeluarkan peringatan bahwa penyebaran Omicron dapat menganggu pemulihan ekonomi global. IMF bersiap untuk kembali memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global.
Tekanan inflasi juga mendorong pelamahan di pasar saham. Indeks saham utama Wall Street ditutup melemah pada akhir pekan lalu. Indeks Dow Jones Industrial Average melemah 0,17%, S&P 500 juga melemah 0,84% serta Nasdaq Composite anjlok 1,92%. Indeks saham utama Eropa juga kompak melemah. Indeks FTSE 100 Inggris melemah 0,1% bersama DAX Jerman 0,61%, CAC 40 Perancis 0,44% dan Ibex 35 Spanyol 0,71%.
Beberapa indeks saham utama Asia juga melemah pagi ini. Nikkei 225 Jepang turun 0,92%, Hang Seng Hong Kong anjlok 1,08%, Kospi Korea Selatan 0,09%, Nifty 50 India 1,18% dan Taiex Taiwan 0,32%.
Rupiah juga masih tertekan oleh rencana percepatan tapering off The Fed. Bank sentral Amerika itu memulai tapering off berupa pengurangan pembelian aset sejak akhir bulan lalu. Kendati demikian, tekanan inflasi mendorong The Fed untuk berencana menggandakan pengurangan pembelian asetnya.
"Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell sudah tidak menggunakan kata transitory atau sementara untuk menjelaskan kenaikan inflasi yang saat ini terjadi di AS," kata Ariston.
Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri juga memperikaran rupiah akan tertekan terutama karena adanya tapering off. Ia memperkirakan rupiah akan melemah di kisaran Rp 14.415 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di level Rp 14.383.
Ia mengatakan sentimen negatif dipicu oleh kemungkinan percepatan normalisasi kebijakan The Fed akibat inflasi yang mungkin akan bertahan lebih lama. "Data ketenagakerjaan AS yang di bawah ekspektasi juga tidak membuat USD melemah," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Data Nonfarm Payroll yang menunjukkan penambahan tenaga kerja di sektor non-pertanian hanya sebanyak 210 ribu pekerja sepanjang bulan lalu. Ini jauh di bawah kinerja bulan Oktober sebanyak 546 ribu tenaga kerja. Meski demikian, tingkat pengangguran turun tajam menjadi 4,2% dari 4,6%.
Seperti diketahui, selain inflais, The Fed juga memantau perbaikan di sisi tenaga kerja sebagai pertimbangan untuk memperketat kebijakan monternya.