Strategi Erdogan Dikritik, Inflasi Turki Naik 21% dan Lira Merosot 55%

ANTARA FOTO/REUTERS/Johanna Geron/File Photo/AWW/sa.
Bendera yang memprotes Presiden Turki Tayyip Erdogan di luar Parlemen Eropa di Brussels, Belgia, (19/1/2021).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
20/12/2021, 12.33 WIB

Krisis ekonomi masih terus membayangi Turki. Inflasi di negeri itu mencapai 21,31% dan mata uang nasional Turki, lira, merosot hingga 55% terhadap dolar tahun ini.

Baru-baru ini Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berjanji bisa menekan inflasi Turki hingga 4%. Ia optimistis bisa melakukannya karena punya pengalaman serupa beberapa tahun lalu.

Erdogan pernah berhasil menurunkan inflasi Turki menjadi 4% pada 2011 ketika dia menjabat sebagai Perdana Menteri saat itu. Tapi tanda-tanda kenaikan inflasi kembali terlihat mulai tahun 2017 dan kini telah melonjak dengan inflasi bulanan 3,51% dan inflasi tahunan mencapai 21,31% pada November 2021.

"Cepat atau lambat, sama seperti kami menurunkan inflasi hingga 4% ketika saya berkuasa, kami akan menurunkannya lagi," kata Erdogan dikutip dari Reuters, Senin (20/12).

Erdogan masih memilih cara lamanya yakni mempertahankan suku bunga rendah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Turki dan menggenjot potensi ekspor dengan nilai tukar yang kompetitif. "Saya tidak akan membiarkan rakyat saya dihancurkan karena suku bunga ( yang tinggi)," ujar Erdogan.

Sebagian besar ekonom menilai Erdogan telah mengambil langkah-langkah yang sembrono dan memprediksi inflasi akan makin memanas hingga 30% pada tahun depan.

Banyak orang Turki mengatakan kenaikan 50% dalam upah minimum yang diumumkan oleh Erdogan pada hari Kamis lalu belum cukup. Kendati demikian, secara luas diperkirakan langkah tersebut akan meningkatkan inflasi harga konsumen sebesar 3,5 hingga 10 poin persentase.

Kekhawatiran terhadap inflasi spiral akibat kenaikan upah tersebut mendorong mata uang Turki, lira mencapai rekor terendahnya pada akhir pekan lalu di atas 17 lira Turki per satu dolar AS. Mata uang Turki telah anjlok 55% sepanjang tahun ini dan pelemahan 37% dalam 30 hari terakhir.

Pada akhir pekan ini, Erdogan menegaskan kembali pandangannya bahwa suku bunga merupakan penyebab kenaikan harga-harga. Erdogan memang terkenal terus mendesak agar bank sentral bisa memangkas suku bunga demi menyelamatkan ekonomi.

"Pemotongan suku bunga terbatas yang telah kami lakukan tidak dapat menjadi penyebab gambaran ini (inflasi)," katanya.

Di bawah tekanan dari Erdogan, bank sentral telah memangkas suku bunga sebesar 500 basis poin sejak September. Dia mengatakan model tersebut akan meningkatkan ekspor, lapangan kerja, investasi dan pertumbuhan.

Desakan Turki Menaikkan Suku Bunga

Kelompok bisnis terbesar Turki TUSIAD pada akhir pekan lalu meminta pemerintah untuk meninggalkan kebijakan suku bunga rendah dan kembali ke 'aturan ilmu ekonomi'. Namun Erdogan melihat pernyataan TUSIAD ini sebagai serangan terhadap pemerintah.

"Kebijakan ekonomi pemerintah kami bergerak maju persis seperti yang kami tentukan, terlepas dari volatilitas sementara dalam nilai tukar. Saya meminta semua warga untuk berpihak kepada negara dan pemerintah mereka lebih kuat dalam hal ekonomi," kata Erdogan.

Pemerintah Turki awal bulan ini melaporkan inflasi kembali naik di kecepatan 3,51% secara bulanan dan 21,31% secara tahunan pada November. Ini melampaui jejak pendapat Reuters di 3% secara bulanan dan inflasi tahunan 20,7%.

Kenaikan inflasi tahunan terutama karena peningkatan harga-harga yang tinggi pada kelompok makanan, restoran dan hotel, mencerminkan meningkatnya permintaan. Sementara inflasi bulanan terutama didorong oleh inflasi 6% pada harga transportasi sebagai imbas kenaikan harga energi global.

Inflasi di tingkat produsen jauh lebih tinggi, yakni 9,99% secara bulanan dan 54,62% secara tahunan. Ini menunjukkan depresiasi mata uang memicu harga impor dan akan membengkakkan inflasi secara keseluruhan di bulan-bulan mendatang sejalan dengan perkiraan banyak ekonomi bahwa inflasi di tingkat konsumen bisa mendekati 30% pada tahun 2022.

Kebijakan Erdogan Tak Lazim

Mengapa Presiden Erdogan mempertahankan model, yang menurut para kritikus, berisiko mengerek inflasi, pengangguran dan tingkat kemiskinan, dan apa artinya bagi warga Turki?

Alasan sederhana keterpurukan lira adalah kebijakan ekonomi tak lazim yang ditempuh Erdogan, yakni mempertahankan suku bunga rendah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Turki dan potensi ekspor dengan nilai tukar yang kompetitif.

Bagi banyak ekonom, jika inflasi naik yang dilakukan untuk mengendalikannya adalah menaikkan bunga. Tapi Presiden Erdogan Erdogan memandang suku bunga sebagai "keburukan yang membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin."

Tak banyak orang yang percaya model ekonomi Erdogan bakal menolong inflasi dan lira Turki. Di tengah ketidakpastian itu, ekonom Arda Tunca mengatakan tak dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di kemudian hari.

"Inilah pertama kalinya kami menerapkan model yang benar-benar di luar teori ekonomi. Ketika terjadi krisis sebelumnya kami dapat menerka-nerka apa yang akan terjadi. Sekarang tidak mungkin," katanya.

Inflasi meningkat di seluruh dunia, dan bank sentral di masing-masing negara membicarakan kenaikan suku bunga. Tidak demikian di Turki, karena Presiden Erdogan yakin inflasi pada akhirnya akan turun.

Dalam tempo dua tahun ia telah memecat tiga presiden bank sentral dan baru pekan ini ia mengganti menteri keuangan. Jadi nilai tukar lira terus merosot.

Masalah Ekonomi Merembet ke Politik


Pilihan kebijakan Erdogan membuat inflasi tinggi dan masyarakat kesulitan membeli barang.  "Semua serba mahal," kata Sevim Yildirim kepada BBC di sebuah pasar buah. "Dengan harga seperti ini, tak mungkin bisa menyediakan makanan utama untuk keluarga."

Perekonomian Turki tergantung pada impor untuk memproduksi barang-barang mulai dari makanan hingga tekstil sehingga kenaikan nilai dolar berdampak langsung pada harga barang-barang keperluan.

Kondisi ini membuat partai-partai oposisi mendesak pemilihan umum yang dipercepat. Ketika lira merosot 18% dalam tempo sehari pada tanggal 23 November, terjadi unjuk rasa dan puluhan warga ditangkap.

Namun ungkapan kemarahan yang paling bisa diamati dari kalangan generasi muda Turki disampaikan lewat Twitter, streaming langsung di Twitch, video TikTok dan YouTube.

"Saya tidak senang dengan pemerintah sama sekali. Saya tidak bisa membayangkan masa depan bagi saya sendiri di negara ini," kata seorang pemuda kepada wartawan di salah satu saluran YouTube.

Satu dari lima warga muda di Turki menganggur; bahkan jumlah perempuan yang menganggur lebih besar lagi.

Turki tercatat sebagai negara tertinggi keempat di dunia dari segi jumlah penduduk muda yang tidak bekerja, tidak bersekolah atau mendapat pelatihan, menurut OECD.

Generasi muda siap memainkan peran penting di dunia politik Turki yang telah diperintah oleh partai pimpinan Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sejak 2002.

Hampir sembilan juta warga Turki yang dilahirkan sesudah akhir 1990-an akan mempunyai hak memilih dalam Pemilu tahun 2023 dan fakta itu bisa menimbulkan masalah bagi AKP.

(Reuters/BBC)

Reporter: Abdul Azis Said