Studi dari Inggris menunjukkan dampak pandemi kemungkinan mereda lebih cepat sehingga nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dunia pada tahun depan akan menembus US$ 100 triliun atau Rp 1.421,8 kuadriliun (kurs Rp 14.218 per dolar AS). Meski demikian, pemulihan ekonomi dunia masih dibayangi sejumlah ketidakpastian.
"Kami sekarang memperkirakan PDB dunia dalam dolar pada tahun 2022 lebih tinggi dari pada sebelum pandemi dan mencapai lebih dari US$ 100 triliun untuk pertama kalinya. Pada tahun lalu, perkiraan kami bahwa ini hanya akan tercapai pada tahun 2024," demikian tertulis dalam laporan terbaru Center for Economics and Business Research (CEBR) seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (27/12).
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sekalipun kemunculan Omicron membayangi pemulihan tahun depan, tingkat kekebalan yang jauh lebih baik di banyak negara memungkinkan pembatasan mobilitas tidak akan seketat sebelumnya. Selain itu, kemampuan berbagai sektor ekonomi untuk beradaptasi dengan pandemi mulai meningkat, sehingga efek lockdown akan lebih ringan dibandingkan sebelumnya.
Kondisi tersebut didorong oleh vaksinasi dunia yang telah melampaui separuh populasi dunia pada Desember ini, Meskipun distribusi vaksin tidak merata dan potensi kemunculan varian baru menimbuljan risiko, tetapi perkembangan signifikan ini telah memungkinan sebagian besar ekonomi dunia kini memasuki fase pemulihan pascapandemi.
"Ada momentum yang jauh lebih besar menuju 2022 daripada yang kami bayangkan sebelumnya dan kami sekarang memperkirakan pertumbuhan dunia sebesar 4,2% tahun depan dibandingkan dengan 3,4% yang diprediksi tahun lalu," demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Sementara itu, dunia tampaknya masih akan dihadapkan pada masalah inflasi sekalipun beberapa pendorong kenaikan harga mulai mereda. Hal ini terlihat dari kenaikan nominal PDB tahun depan yang terutama disebabkan kenaikan inflasi. Proyeksi nominal PDB 2022 yang dirilis edisi terbaru US$ 7 triliun lebih besar dibandingkan perkiraan tahun lalu.
Proyeksi PDB tersebut naik 7,2% dibandingkan proyeksi sebelumnya. Namun, hanya 2,2% yang disumbang oleh kenaikan PDB riil sedangkan sebesar 4,9% karena inflasi dalam mata uang dolar AS.
CEBR juga mencatat, terdapat tanda-tanda inflasi upah meningkat meski beberapa sumber inflasi mulai mereda dalam pekan-pekan terakhir tahun ini. "Salah satu faktor yang tampaknya mendorong inflasi upah dunia adalah kontraksi pasokan tenaga kerja selama pandemi, karena banyak pekerja yang lebih tua memutuskan untuk pensiun," kata laporan tersebut.
Konsolidasi fiskal dengan upaya menormalisasi defisit angaran di banyak negara sudah dimulai dan kemungkinan langkah ini dapat membantu mengurangi inflasi tahun-tahun-tahun mendatang. Namun, CEBR mengatakan, langkah moneter kemungkinan masih diperlukan. Hal ini karena analisis mereka memperkirakan ada 'overhang moneter' alias uang yang dipegang masyarakat lebih banyak dari yang mereka butuhkan mencapai 15-20% di seluruh dunia.
Di samping itu, laporan tersebut juga menunjukkan masa depan pertumbuhan ekonomi dunia di tengah rencana besar transisi menuju kehidupan rendah karbon. Mereka memperkirakan, target ini akan mendorong biaya yang dikeluarkan konsumsi di periode awal transisi menjadi lebih mahal. Diperkirakan konsumsi riil akan berkurang rata-rata US$ 2 triliun per tahun selama 20 tahun mendatang, Ini dengan asumsi bahwa separuh dari total biaya dekabronisasi tersebut dibebankan kepada konsumen.