- Konsumsi dan daya beli masyarakat semakin pulih mendekati pengujung tahun.
- Pemerintah memproyeksi ekonomi mampu tumbuh di atas 5% pada kuartal keempat 2021.
- Kehadiran varian Omicron membawa kekhawatiran baru.
Jalanan di Ibu Kota mulai macet, area perkantoran kembali sibuk, pusat perbelanjaan dan restoran pun semakin ramai. Aktivitas ekonomi semakin pulih mendekati normal mendekati penghujung tahun. Namun, temuan kasus pertama varian Omicron di dalam negeri pada pekan lalu mendatangkan kekhawatiran, terhambatnya pemulihan ekonomi yang tengah berjalan.
Pemerintah mengumumkan temuan kasus pertama varian Omicron pada Kamis (16/12), seorang petugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19. Pasar keuangan sempat merespons negatif pengumuman pemerintah. Rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh ke zona merah usai pengumuman temuan kasus yakni seorang petugas di Wisma Atlet Kemayoran.
Kurs rupiah dan IHSG sempat berbalik ke zona hijau pada penutupan pekan lalu masing-masing menguat 0,05% dan 0,11% ke Rp 14.335 per dolar AS dan 6.601. Namun pada perdagangan Senin (20/12), IHSG turun 0,93% ke 6.571, sedangkan kurs rupiah melemah 0,33% ke level Rp 14.404 per dolar AS.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ekonomi saat ini masih dalam kondisi baik. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai indikator. Namun demikian, ia mengakui sulit meramal kondisi ekonomi ke depan di tengah merebaknya varian Omicron.
“Menurut kami, semua kondisi saat ini terkendali, termasuk ekonomi dan data menunjukkan sangat baik. Namun dalam kondisi seperti ini, tidak ada siapapun yang dapat meramal seperti apa ke depan. Maka itu, akan kami pantau setiap minggu,” ujar Luhut yang juga Koordinator PPKM Jawa Bali dalam konferensi pers, Senin (20/12).
Sejak omicron ditemukan pada pekan lalu, kasus baru Covid-19 masih terpantau landai. Dalam sepekan terakhir, rata-rata kasus berada di kisaran 200 per hari dengan jumlah kasus terbanyak pada Jumat (19/12) sebanyak 291 kasus.
Meski demikian, Luhut memastikan pemerintah telah memiliki skenario untuk mengantisipasi jika terjadi lonjakan kasus Covid-19. “Pemerintah siapkan langkah-langkah forward looking, atau bahasa tentaranya kontingensi, tindakan-tindakan darurat manakala itu terjadi,” kata Luhut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menilai, pemulihan ekonomi saat ini masih terus berjalan. Namun, ia juga mengingatkan pandemi memang belum berakhir dan perlunya mewaspadai dampak dari varian Omicron yang baru masuk ke Indonesia. “Saat ini kita dihadapkan dengan varian Omicron, kita harus sedikit berhati-hati,” ujar Sri Mulyani akhir pekan lalu.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meminta masyarakat untuk membatasi mobilitas dan mengurangi pertemuan sehingga kasus tetap terkendali. Hal ini akan berdampak besar pada kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.
Ia mengatakan, kasus yang terkendali saat ini mendukung pemulihan ekonomi yang lebih kuat pada kuartal keempat tahun ini. Ia sebelumnya memperkirakan ekonomi pada kuartal keempat ini mampu tumbuh di atas 5% dan mencapai 4% untuk sepanjang tahun ini.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga optimistis ekonomi pada tiga bulan terakhir tahun ini mampu tumbuh lebih baik meski ada varian Omicron. Namun, proyeksi bank sentral masih lebih rendah dibandingkan pemerintah. “Kami melihat pertumbuhan di kuartal IV ini akan terus membaik dengan perkiraan bisa di atas 4,5%," kata Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (16/12).
Perry mengatakan, konsumsi rumah tangga pada akhir tahun akan meningkat seiring periode musiman Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Konsumsi pemerintah juga masih akan tinggi seiring ekspansi fiskal yang biasanya dikebut pada akhir tahun.
Daya Beli dan Konsumsi Masyarakat Kian Pulih
Optimisme juga terlihat dari sejumlah data indikator perekonomian hingga Desember yang menunjukkan proses pemulihan masih berlanjut. Indeks mobilitas yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan mobilitas di rumah menurun, sedangkan mobilitas di luar rumah meningkat, terutama di sejumlah pusat perbelanjaan.
Indeks keyakinan konsumen bulan lalu semakin optimis dan naik ke level 118,5. Purchasing Manufacturing Index yang menunjukkan kondisi industri manufaktur pada November juga masih ekspansif meski lebih lesu dibandingkan bulan sebelumnya.
Data ekspor impor juga memberikan kabar gembira. Meski surplus neraca perdagangan pada November menyusut dari rekor tertinggi bulan sebelumnya US$ 5,73 miliar menjadi US$ 3,5 miliar, kinerja ekspor dan impor berhasil tumbuh.
Baik ekspor maupun impor bulan lalu juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Ekspor pada bulan lalu naik 3,69% dibandingkan Oktober mencapai US$ 22,84 miliar. Sementara impor melonjak 18,6% menjadi US$ 19,32 miliar. Badan Pusat Statistik menyebut lonjakan impor menunjukkan sinyal perbaikan pada daya beli masyarakat.
"Kenapa impornya meningkat? Ini karena industri membaca sinyal permintaan pasar dan daya beli yang semakin baik," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers virtual, Rabu (15/12).
Daya beli masyarakat yang semakin membaik juga tercermin pada indeks belanja yang meningkat. Mandiri Spending Index (MSI) yang mencerminkan tingkat belanja masyarakat mulai meningkat sejak Agustus. Indeks MSI pada Oktober tercatat 113,4 poin, tertinggi setelah terkontraksi di 74,5 poin pada Juli lalu.
Kepala Mandiri Institute Yudo Wicaksono menyebut, konsumsi masyarakat mulai meningkat tak hanya untuk kebutuhan pokok melainkan juga belanja tersier, seperti fesyen. Berdasarkan riset Mandiri Spending Index, indeks untuk belanja fesyen semakin menguat dan menyentuh 111,4 poin di pekan terakhir November. Pembacaan indeks di atas 100 menunjukkan kinerja memasuki zona optimistis.
"Dengan mulai normalisasi dan work from office, kebutuhan untuk membeli fesyen ini mulai menunjukan perbaikan," kata Yudo pada pekan kedua Desember.
Yudo mengatakan, sumbangan belanja fesyen cukup besar terhadap total belanja masyarakat mencapai 10,9% pada November. Selain fesyen, kelompok belanja tersier yang juga mulai meningkat adalah pembelian handphone dan entertainment. Indeks belanja handphone bahkan mencapai level 147, sedangkan belanja hiburan akhirnya keluar dari zona kontraksi ke level 102,3 pada bulan lalu.
Bank Mandiri memperkirakan ekonomi pada kuartal keempat akan tumbuh 5%, sedangkan sepanjang tahun ini mencapai 3,61%. Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pemerintah.
Proyeksi terbaru sejumlah lembaga internasional terhadap ekonomi Indonesia juga tak lebih optimistis daripada ramalan pemerintah yang tumbuh 4%. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 3,7%. sementara ADB hanya memproyeksi pertumbuhan 3,6%, sedangkan OECD hanya 3%. Meski demikian, lembaga-lembaga tersebut memperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun depan akan lebih baik.
Bersambung ke halaman berikut: Dampak Ekonomi Varian Omicron Tak Akan Seburuk Delta
Dampak Ekonomi Varian Omicron Tak Akan Seburuk Delta
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, temuan awal menunjukkan bahwa varian Omicron memiliki daya tular yang sangat tinggi. Namun, varian ini diduga menimbulkan gejala yang lebih ringan dari varian sebelumnya.
Meski demikian, ia mengingatkan kasus yang meningkat cepat dapat mendorong lonjakan kebutuhan perawatan di rumah sakit. "Sebagaimana terjadi di Inggris, ini menjadi sangat berbahaya. Orang bisa meninggal karena tidak dapat perawatan," ujar Luhut.
Untuk itu, menurut dia, pemerintah akan terus memantau perkembangan penelitian terkait varian Omicron dari berbagai belahan dunia. Perkembangan Omicron akan sangat menentukan nasib pemulihan ekonomi Indonesia, terutama pada tahun depan.
Pemerintah saat ini memastikan varian Omicron masih merupakan kasus impor dan belum menyebar di dalam negeri. Satgas juga telah mengisolasi wisma Atlet yang menjadi tempat awal penularan varian ini selama tujuh hari dan meningkatkan pemeriksaan untuk mencegah penyebarannya.
Kepala Ekonom BCA David Sumual optimistis dampak varian Omicron tak akan seburuk saat lonjakan kasus akibat varian Delta pada kuartal ketiga lalu. Sejumlah temuan awal yang menunjukkan gejala varian baru asal Afrika Selatan ini lebih ringan dibandingkan varian lalu memberikan sedikit kelegaan terhadap para pelaku ekonomi.
"Mudah-mudahan ini tanda pandemi akan berakhir, muncul varian baru yang menyebar dengan cepat tapi gejala lebih ringan," kata David.
Dengan optimisme tersebut, ia memperkirakan ekonomi pada kuartal keempat tahun ini dapat tumbuh di kisaran 5% dan tumbuh sekitar 4% pada sepanjang tahun ini. Perekonomian pada tiga bulan terakhir tahun ini didukung oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah yang meningkat, serta kinerja ekspor impor yang kinclong. Sementara dukungan investasi belum akan terlalu besar.
"Pembatasan perjalanan ke luar negeri justru menguntungkan, karena orang-orang akan memilih berwisata di dalam negeri," kata dia.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pemerintah kemungkinan tidak akan memperketat pembatasan sepanjang kasus Covid-19 terkendali dan kasus terkait Omicron terbatas pada kasus impor. Untuk itu, ia memperkirakan kehadiran varian ini masih memiliki dampak yang sangat terbatas pada pertumbuhan ekonomi kuartal IV.
Josua memperkirakan ekonomi sepanjang tahun ini masih berada di kisaran 3,4%-3,8%."Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 diperkirakan berada pada kisaran 4,75%-5,25%, didorong oleh perbaikan aktivitas ekonomi Indonesia," kata dia.
Menurut Josua, pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan cenderung mendekati sebelum masa pandemi. Dengan kembalinya perekonomian di tahun ini, low-based effect, yang terjadi pada kuartal 2021 lalu tidak akan terulang kembali.
Adapun pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan didorong oleh pertumbuhan ekonomi dari sisi investasi serta konsumsi. Pertumbuhan investasi dipengaruhi oleh semakin atraktifnya investasi di Indonesia, sejalan dengan kegiatan ekonomi yang mendekati kondisi sebelum pandemi. Peningkatan dari sisi investasi kemudian akan mendorong pembukaan lapangan pekerjaan, sehingga pasar tenaga kerja Indonesia semakin membaik.
"Alhasil, daya beli masyarakat juga ikut terdorong naik," kata dia.
Sementara kontribusi net ekspor pada tahun depan akan cenderung turun, seiring dengan kenaikan impor akibat kebutuhan manufaktur yang tinggi. Hal ini diikuti oleh normalisasi harga komoditas global. "Hambatan dari sisi net ekspor ini yang menjadi salah satu tantangan dalam pertumbuhan ekonomi pada 2022," ujarnya.