Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dari prediksi semula sebesar 4,3% menjadi 4,1%. Perekonomian global semakin melambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang diprediksi mencapai 5,5%.
Dalam laporan terbaru Global Economic Prospect 2022 yang dirilis Selasa (11/1), Bank Dunia memperkirakan pandemi masih akan menganggu aktivitas ekonomi dalam waktu dekat seiring pesatnya penyebaran varian Omicron. Namun, perlambatan ekonomi pada tahun ini terutama disebabkan oleh tak ada lagi stimulus moneter besar-besaran dan dukungan dari munculnya permintaan yang terpendam.
“Ekonomi dunia secara bersamaan menghadapi Covid-19, inflasi, dan ketidakpastian kebijakan, dengan pengeluaran pemerintah dan kebijakan moneter yang belum dapat dipetakan. Meningkatnya ketidaksetaraan dan tantangan keamanan sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang,” kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass dalam siaran pers yang dirilis Selasa (11/1) waktu Washington DC.
Malpass menjelaskan, perlambatan ekonomi terutama terjadi di negara-negara ekonomi terbesa, seperti Amerika Serikat dan Cina. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Amerika Serikat tumbuh 3,8% pada tahun ini, melambat dibandingkan 5% pada tahun lalu. Sementara ekonomi Cina akan tumbuh melambat dari 8% pada tahun lalu menjadi 5,1%.
Malpass mengatakan, perlambatan ini akan menahan permintaan eksternal di negara-negara berkembang. Hal ini akan semakin memberatkan karena terjadisaat pemerintah di banyak negara berkembang kekurangan ruang kebijakan untuk mendukung kegiatan jika diperlukan.
"Wabah COVID-19 baru, kemacetan rantai pasokan yang terus-menerus dan tekanan inflasi, serta kerentanan keuangan yang meningkat di sebagian besar dunia dapat meningkatkan risiko pendaratan keras," kata Malpass.
Pendaratan keras atau hard landing adalah kondisi perekonomian di mana periode pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti dengan perlambatan parah, bahkan mengalami resesi.
“Menempatkan lebih banyak negara pada jalur pertumbuhan yang menguntungkan memerlukan tindakan internasional bersama dan serangkaian tanggapan kebijakan nasional yang komprehensif," ujarnya.
Malpass mengatakan, perlambatan ini juga akan diiringi dengan peningkatan kesenjangan pertumbuhan antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Rata-rata pertumbuhan negara-negara maju diperkirakan akan turun dari 5% pada 2021 menjadi 3,8% pada 2022 dan 2,3% pada 2023. Meski dengan kecepatan sedang, pertumbuhan ini akan cukup untuk memulihkan perekonomian dan investasi ke tren pra-pandemi.
Sementara pertumbuhan ekonomi negara-negara perkirakan akan turun dari 6,3% pada 2021 menjadi 4,6% pada 2022 dan 4,4% pada 2023. Bank Dunia memperkirakan, semua ekonomi maju akan mencapai pemulihan perekonomian secara penuh pada 2023, tetapi perekonomian di negara berkembang dan negara berkembang akan tetap 4% di bawah tren pra-pandemi.
"Bagi banyak ekonomi yang rentan, kemundurannya bahkan lebih besar. Output dari ekonomi yang rapuh dan terkena dampak konflik akan menjadi 7,5% di bawah tren pra-pandemi, dan output dari negara-negara pulau kecil akan menjadi 8,5%," katanya.
Sementara itu, Bank Dunia juga kenaikan inflasi akan menghambat kebijakan moneter. Secara global dan di negara maju, inflasi berada pada tingkat tertinggi sejak 2008. Di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang, inflasi telah mencapai tingkat tertinggi sejak 2011. Banyak negara berkembang mulai menarik dukungan kebijakan untuk menahan tekanan inflasi meski pemulihan masih jauh dari selesai.