Bank Indonesia meyakini inflasi akan tetap terkendali pada kisaran target 2% hingga 4% sepanjang tahun ini. Bank Sentral memastikan akan menjaga suku bunga tetap rendah hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi mencapai di luar target kisaran.
"BI akan pertahanankan suku bunga rendah sebesar 3,5% hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi yang bersifat fundamental. Perkiraan kami, ini baru akan terjadi pada 2023," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis (9/20).
Perry mengatakan, pihaknya akan mengkaji kembali stance kebijakannya pada kuartal ketiga tahun ini untuk melihat seluruh perkembangan makroekonomi dan moneter. Namun saat ini, Perry meyakini inflasi sepanjang tahun ini masih akan terjaga pada kisaran target 2% hingga 4%.
Menurut Perry, terdapat empat penyebab inflasi tahun ini akan tetap rendah:
- Kenaikan permintaan pada tahun ini masih dapat dipenuhi produksi nasional atau berada di bawah kapasitas nasional. "Output masih negatif. Tekanan fundamental inflasi yang terlihat dari inflasi inti masih akan rendah," ujar Perry.
- Ekspektasi inflasi masih terjaga. Meski ada kenaikan inflasi pada awal tahun, menurut Perry, kenaikan masih rendah dan belum akan mengerek inflasi keseluruhan tahun.
- Nilai tukar stabil. Kondisi kurs rupiah yang stabil akan membuat kenaikan harga internasional tak akan menimbulkan kenaikan harga domestik.
- Koordinasi erat antara Bank Indonesia, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah untuk memastikan harga-harga terutama pangan tetap stabil.
Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan ini memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya tetap rendah sebesar 3,5%. Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 2,75%. Demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility tetap 4,25%.
Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri sebelumnya mengatakan, ada tiga pilihan kebijakan yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah dan BI untuk merespons kenaikan The Fed Fund Rate (FFR). "Pemerintah dan BI punya tiga pilihan; membiarkan rupiah terdepresiasi, Bank Indonesia menaikkan suku bunga, atau pemerintah memperketat kebijakan," ujar Chatib Basri dalam Mandiri Investment Forum 2022, Rabu (21/2).
Ia menjelaskan, tak mudah bagi BI menaikkan suku bunga dalam kondisi saat ini. Inflasi masih rendah di kisaran 3% dan ekonomi belum sepenuhnya pulih. "Mungkin tahun depan, ada kemungkinan BI menaikkan suku bunga, tetapi saya rasa tidak tahun ini," katanya.
Menurut Chatib, kenaikan suku bunga BI akan menimbulkan biaya ekonomi yang mahal jika diterapkan pada tahun ini. Kebijakan ini dapat menahan pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah kemungkinan tidak akan memperketat fiskal pada tahun ini meski defisit APBN pada tahun depan ditargetkan kembali berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) sudah bilang, dia akan terus mendukung pemulihan ekonomi," ujarnya.
Oleh karena itu, Chatib menilai, opsi paling ideal untuk merespons kenaikan suku bunga The Fed adalah membiarkan rupiah terdepresiasi atau melemah. "Ini sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi, mengapa rupiah melemah dari Rp 14 ribu per dolar AS menjadi Rp 14.400 per dolar AS," kata dia.
Selain itu, salah satu kebijakan yang paling mungkin ditempuh BI adalah memperketat kebijakan makroprudensial. Hal ini telah ditempuh BI dengan menerapkan kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan secara bertahap mulai bulan depan.
"Jadi kebijakan BI saat ini juga bukan menahan rupiah pada level tertentu, tetapi menjaga volatilitas dan arus modal asing," kata dia.
Meski demikian, Chatib memperkirakan pelemahan rupiah tak akan seburuk seperti periode kenaikan suku bunga AS pada 2013. Dua faktor utama yang mendukung adalah porsi kepemilikan asing di surat berharga negara yang kini hanya mencapai 19% dan defisit transaksi berjalan yang rendah.