Perang Rusia dan Ukraina Pecah, Bagaimana Dampak ke Ekonomi Dunia?

ANTARA FOTO/REUTERS/Bryan Woolston/FOC/dj
Ilustrasi. Ekonom JPMorgan memangkas perkiraan pertumbuhan kuartal pertama untuk kawasan Euro dari 1,5% menjadi 1% seiring terjadinya perang antara Ukraina dan Eropa.
Penulis: Agustiyanti
24/2/2022, 16.58 WIB

Ekonomi dunia yang masih belum pulih dari Covid-19 menghadapi risiko baru dari lonjakan harga energi akibat pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina. Harga minyak dunia melonjak menembus US$ 100/barel setelah ledakan dilaporkan terjadi di ibu kota Ukraina Kyiv.

Sanksi terbatas yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya tak membuat Rusia gentar. Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan militer menyerang Ukraina timur. Serangan militer ini  menjadi awal perang setelah gagalnya tuntutan Rusia agar Ukraina  tak menjadi bagian NATO. 

Reuters melaporkan, tak lama setelah Putin berbicara dalam pidato khusus yang disiarkan televisi di TV pemerintah Rusia, terdengar ledakan dari ibu kota Ukraina, Kyiv, sebelum fajar waktu setempat. 

Kantor berita Ukraina interfax menyebutkan tembakan terdengar di dekat bandara utama ibu kota. Ledakan juga mengguncang kota Donetsk, salah satu wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina. 

AS dan sekutu Eropanya sebelumnya telah meluncurkan sanksi terbatas sebagai tanggapan atas keputusan  Putin untuk mengakui dua republik yang memisahkan diri di Ukraina timur. Mereka bahkan memperingatkan bahwa hukuman yang lebih keras mungkin akan menyusul.

Krisis telah mendoronng harga minyak dunia menembus US$ 100 per barel. Berdasarkan data Bloomberg hingga pukul 16.20 WIB, harga minyak Brent mencapai US$ 103,49 per barel, sedangkan minyak WTI mencapai US$ 98,17 per barel. Rusia adalah pemasok utama komoditas energi ke Eropa.

Mengutip Bloomberg, kekhawatiran akan eskalasi telah membuat terjadi kenaikan harga pada segala sesuatu mulai dari minyak dan gas hingga gandum, pupuk, dan logam industri dalam  beberapa pekan terakhir meski tidak ada gangguan fisik pada arus komoditas.

Di Eropa, yang mendapatkan lebih dari setengah minyak dan gas dari Rusia, terjadi kenaikan tagihan listrik dan pemanas rumah tangga sudah membayar tagihan listrik dan pemanas yang lebih tinggi. Biaya energi menyumbang lebih dari setengah inflasi Europa pada Januari, yang mencetak rekor tertinggi. Ketidakpastian tentang pasokan Rusia di masa depan dapat memperburuk keadaan. 

Pejabat Bank Sentral Eropa mengatakan bahwa harga energi yang terus-menerus tinggi dapat memperlambat pemulihan ekonomi karena dan memakan margin keuntungan perusahaan. 

Ekonom JPMorgan memangkas perkiraan pertumbuhan kuartal pertama untuk kawasan Euro dari 1,5% menjadi 1%. Namun, mereka masih memperkirakan ekonomi Eropa akan kembali ke jalur pertumbuhan prapandemi pada akhir tahun. 

Jerman yang berencana untuk mempensiunkan semua pembangkit listrik tenaga nuklirnya pada akhir tahun ini, sangat bergantung pada impor gas, salah satu alasan mengapa berinvestasi dalam pipa Nord Stream 2 senilai US$ 11 miliar untuk menggandakan pasokan dari Rusia. Proyek itu selesai tahun lalu dan menunggu persetujuan dari regulator. 

Rusia dan Ukraina adalah produsen utama gandum. Harga gandum telah meningkat karena para pedagang khawatir tentang kemungkinan gangguan pengiriman melalui Laut Hitam. Itu sangat mengkhawatirkan bagi negara-negara di Afrika Utara, di mana volatilitas harga roti di masa lalu telah memicu kerusuhan dan menggulingkan pemerintah.

Ekspor paladium Rusia, yang digunakan untuk membuat catalytic converter yang menurunkan emisi mobil atau aluminium dan baja juga dapat terganggu. Kepentingan strategis dari bahan-bahan tersebut berpotensi membuat potensi sanksi kepada Rusia lebih kecil. 

Tidak seperti Eropa, Amerika adalah produsen dan pengekspor energi utama sehingga ekonominya tak akan terdampak signifikan dari konflik ini. Namun, ada risiko politik bagi Biden akibat infalsi yang tinggi.

Peter Harrell, seorang pejabat di Dewan Keamanan Nasional, mengatakan kepada Bloomberg Television bahwa tindakan terhadap Rusia seharusnya tidak terlalu merugikan rantai pasokan AS. “Kami telah melakukan latihan pemetaan yang sangat disengaja selama beberapa bulan terakhir untuk memahami di mana kami memiliki ketergantungan pada Rusia, dan bekerja dengan industri untuk melakukan diversifikasi,” katanya.

Pejabat di Federal Reserve, yang bersiap untuk mulai menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, telah memperingatkan bahwa gejolak geopolitik dapat menyebabkan harga yang lebih tinggi.

Namun, sebagian besar ekonom memperkirakan lonjakan harga apa pun dari kebuntuan Ukraina terbukti berumur pendek. Hal Ini berarti konflik tak akan mendorong inflasi jangka panjang dan ekspektasi upah. 

Hubungan Erat Rusia dan Cina

Sanksi AS kepada Rusia atas pencaplokan Crimea pada 2015 telah mengirimkan Rusia ke dalam resesi dan sistem keuangannya ke dalam krisis.

Sejak itu, pemerintah Rusia telah bekerja keras untuk memberikan sanksi kepada perekonomian. Ini telah mendorong produksi dalam negeri, mengurangi utang luar negeri, dan membangun cadangan mata uang asing yang sekarang dapat didukung lebih jauh berkat melonjaknya harga energi.

Tanpa konflik militer besar, ekonomi Rusia kemungkinan akan terus berkembang, meskipun Capital Economics memperkirakan bahwa pertumbuhan bisa turun di bawah 1%. Dalam jangka panjang, sanksi AS dan Eropa kemungkinan akan menahan potensi ekonomi negara ini. 

Perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan hubungan buruk Rusia dengan AS dan Eropa akan meningkatkan hubungan perekonomian Moskow dengan Cina. Cina sudah menjadi mitra dagang terbesar Rusia, dan negara-negara tersebut telah membahas pembangunan jaringan pipa baru untuk membawa gas Rusia.

Rusia juga telah bekerja dengan Cina untuk membangun sistem baru untuk pembayaran internasional  untuk meninggalkan dolar. Hal ini akan mengurangi kemampuan AS untuk menerapkan tekanan melalui sanksi.