Inflasi Jepang Akhirnya Melewati Target 2%, Tertinggi dalam 7 Tahun
Jepang mencatatkan inflasi konsumen inti pada April melewati target bank sentral sebesar 2% untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir. Namun, inflasi terdongkrak oleh kenaikan biaya impor, bukan peningkatan permintaan domestik yang tengah yang didorong oleh bank sentral.
Bank Sentral Jepang sejak telah lama berupaya untuk mendongkrak inflasi mencapai 2%. Meski inflasi sebesar 2,1% yang diumumkan Jumat (20/5) bukan didorong permintaan, pasar skeptis bahwa Bank of Japan (BOJ) masih akan mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya, terutama karena rumah tangga menderita kenaikan biaya tanpa pertumbuhan upah yang substansial.
Tingginya inflasi Jepang terjadi karena harga komoditas meningkat di pasar internasional, terutama sejak perang Rusia-Ukraina pecah.
Selama bertahun-tahun, Jepang berjuang mengerek inflasi mencapai di atas 1%, meskipun ada upaya oleh BOJ untuk membuatnya menjadi 2%.
Inflasi menjadi salah satu tolak ukur meningkatnya perekonomian suatu negara. Berbeda dengan negara lain, termasuk Indonesia yang berupaya menekan inflasi, Jepang justru berupaya mendorong kenaikan inflasi.
Meski inflasi Jepang kini mencapai target yang diharapkan, para analis mengatakan kondis saat ini tak dapat dibanggakan. Inflasi Jepang bukan terdongkrak oleh permintaan tetapi kenaikan biaya energi.
"Kenaikan harga saat ini berasal dari biaya impor yang lebih tinggi. Jika Anda melihat situasi secara keseluruhan, ini berarti inflasi menjadi beban perusahaan dan rumah tangga," kata Taro Saito, peneliti eksekutif di NLI Research Institute.
Ia menjelaskan, rumah tangga bisa berharap untuk pendapatan riil yang lebih tinggi jika upah naik. Namun saat ini, upah pekerja tidak laik sehingga rumah tangga justru terkena dampak negatif.
BOJ menetapkan target inflasi 2% pada 2013, selama tahun pertama masa jabatan gubernurnya saat ini, Haruhiko Kuroda. Dia telah berulang kali mengatakan, bank sentral tidak akan terburu-buru untuk mengakhiri upaya stimulusnya. Ini karena setiap kenaikan inflasi yang didorong oleh biaya akan bersifat sementara.
Upah Jepang hampir tidak dianggarkan relatif terhadap biaya hidup sejak 1990-an dan tetap menjadi salah satu masalah paling mendesak bagi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Kondisi ini mendorong kecenderungan rumah tangga untuk menabung daripada membelanjakan.
Data upah terbaru untuk Maret menunjukkan bahwa upah riil menyusut untuk pertama kalinya dalam tiga bulan karena inflasi melampaui pertumbuhan upah tahunan sebesar 1% tahun-ke-tahun dalam total pendapatan tunai.
Tingkat inflasi April yang diumumkan oleh pemerintah sesuai dengan perkiraan para analis dalam jajak pendapat Reuters. Itu jauh lebih kuat daripada kenaikan tahunan 0,8% yang terlihat pada Maret, tetapi angka sebelumnya lebih kuat dipengaruhi oleh penurunan besar dalam biaya telepon seluler yang memudar dari perhitungan.
"Kenaikan pada biaya impor berarti uang mengalir ke luar negeri. Tidak salah kalau ekonominya buruk," kata Atsushi Takeda, kepala ekonom di Itochu Economic Research Institute.
Inflasi sekarang mungkin tinggi menurut standar Jepang, tetapi tetap rendah dibandingkan dengan apa yang terlihat di negara lain. Perusahaan Jepang tidak dapat dengan mudah menaikkan harga ketika pertumbuhan upah lamban.
Di negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, inflasi tahunan pada April 2022 mencapai 8,3%, sedangkan Inggris mencapai 9%.