Tak Solid, BPJS dan DJSN Beda Pendapat Soal Efektivitas Kelas Standar

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/5/2022). Rapat kerja itu membahas penjelasan tentang platform Indonesia Health Service (IHS) yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan serta transformasi digital kesehatan melalui pengembangan Citizen Health Application (CHA).
4/7/2022, 23.42 WIB

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berencana kembali melakukan pembicaraan internal dengan BPJS Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengenai perbedaan sikap terkait penghapusan layanan kesehatan kelas 1-3 menjadi kelas standar. Meski demikian, uji coba kelas standar tersebut sudah mulai dilakukan bulan ini.

Budi mengaku sudah menggelar 10 kali pertemuan dengan BPJS Kesehatan dan DJSN. Selama itu pula, menurutnya, terdapat perbedaan keinginan antara kedua lembaga tersebut soal kelas standar.

"Waktu itu kita nggak intervensi, tapi kalau saya melihat ini sampai terbuka ke DPR, kemudian nggak selesai-selesai, nanti kita dudukkan lah ini berdua antara DJSN dan BPJS Kesehatan supaya selesai, kalau perlu saya ajak Kementerian Keuangan," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Senin (4/7).

Pembahasan soal implementasi kelas standar merupakan mandat dari BPJS dan DJSN. Sementara Budi selaku Menkes mengurusi soal Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK). Namun, pihaknya selama ini belum ikut campur sebagai bentuk penghargaan atas independensi kedua lembaga tersebut.

Ia menilai, perbedaan keinginan antara BPJS kesehatan dan DJSN ini jadi masalah internal pemerintah. Karena itu, ia tak ingin beda sikap tersebut kemudian melebar. Ia berjanji kepada DPR akan segera menyelesaikan masalah tersebut, termasuk dengan meminta bantuan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

 Lebih lanjut, ia menyebut akar persoalannya karena ada keraguan dari kedua belah pihak soal efektivitas kelas standar tersebut meski sudah berkali-kali rapat. Padahal, ia menegaskan bahwa kelas standar sudah jelas akan memberlakukan 12 kriteria yang sudah ditetapkan dalam Keputusan Dirjen Yankes Nomor HK 02 2018.

Uji coba yang kini berjalan di lima RS vertikal bermaksud untuk menguji keraguan tersebut. Selain itu, perubahan menjadi satu kelas standar inipun menurutnya tidak signifikan membutuhkan perombakan oleh rumah sakit, seperti penambahan tirai hingga pengurangan jumlah kasur dalam satu kamar menjadi empat.

"Saya agak terkejut misalnya merubah ini itu di RSUP Kariadi katanya butuh Rp 150 miliar, kalau mengurangi kasur dari enam menjadi empat butuh Rp 150 miliar, saya sih sebagai bankir terkejut-kejut," kata dia. 

Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN, Mickael Bobby Hoelman, mengatakan bahwa implementasi kelas standar di RS sebetulnya dilakukan secara bertahap. Pihaknya juga memastikan proses pentahapan itu akan dilakukan secara hati-hati.

"Juli hingga Desember lima RS vertikal yang diuji coba, Januari hingga Juni 2023 penambahan 50% RS vertikal atau 16 RS, barulah 100% RS vertikal diharapkan sepenuhnya pada semester 2, artinya ada satu setengah tahun prose spersiapan ini," kata dia.

Begitu dengan RS lainnya di luar milik Kemenkes. Rumah sakit TNI dan Polri, RSUD dan swasta akan uji coba 30% pada paruh kedua, 50% pada paruh pertama 2024 dan baru semester dua tahun 2024 sepenuhnya menerapkan kelas standar. Menurutnya, RS tersebut memiliki waktu untuk melihat bagaimana implementasi uji coba di RS vertikal.

 Bagaimana Pandangan BPJS Kesehatan?

Dirut BPJS Kesehatan dalam agenda yang sama berulang kali menyebut bahwa kriteria kelas standar sejauh ini masih bersifat sementara, termasuk peta jalannya. Padahal, Budi dan DJSN dalam paparannya merincikan peta jalan implementasi kelas standar ditargetkan berlaku 100% pada paruh kedua tahun 2024.

"Roadmap kan disampaikan perlu kesepakatan, roadmap bisa berubah karena belum sepakat," kata dia kepada wartawan usai rapat dengan Komisi IX.

Ia juga mengatakan tidak perlu buru-buru sebelum akhirnya benar-benar menghapus kelas 1-3 menjadi kelas standard.  Menurut dia, perubahan jadi kelas standar ini semula bertujuan untuk menekan defisit yang dialami BPJS Kesehatan. Namun, lembaganya kini sudah berhasil surplus sehingga isu tersebut tidak perlu lagi.

"Jadi kalau ditanya, kelas 1 kemana. itu bisa jawab, kalau iuran jadi tunggal berapa? Jangan sampe sekarang masih pada bingung kalau ditanya, kami sendiri juga bingung," kata dia.

Selain itu, jika nantinya ada perubahan tarif, maka akan berpengaruh pada iuran yang harus ditanggung pemerintah. Seperti diketahui, pemerintah menanggung iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 42.000.

Ia juga mengungkapkan hasil survei lembaganya kepada lebih 2 ribu peserta dari latar belakang kelas mandiri 1-3. Hasilnya, mayoritas dari mereka tetap ingin di kelasnya masing-masing seperti saat ini. 

Jumlah peserta dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan mencapai 222,5 juta orang per 31 Desember 2020. Angka itu setara dengan 81,3% populasi di Indonesia.

Reporter: Abdul Azis Said