Perubahan juga dilakukan pada gambar watermark atau tanda air yang dibuat sama anatar gambar utama dengan gamabr watermark. Pada edisi lama, watermark dengan gambar utama berbeda.
Tujuannya juga untuk memudahkan bagi tunanetra mengenali setiap pecahan. Dalam diskusi dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), mereka menyebut blind code pada uang kertas saja tidak cukup. Karena itu, perlu ditambah pemda salah satunya dari ukuran kertas. Selisih ukuran antara pecahan sebesar 5 mm, lebih besar dibandingkan edisi lama 2 mm.
Kedua, perlunya untuk meningkatkan keamanan. Aspek ini dilakukan melalui perubahan pada benang pengaman khususnya untuk pecahan besar Rp 50.000 dan Rp 100.000. Hal ini karena pecahan besar disebut paling rawan pemalsuan. "Benang pengaman yang kita pakai saat ini yang tertinggi dan terbaik," kata Marlison.
Peningkatan keamanan ini juga dilakukan melalui penambahan area pada kertas yang bisa disinari ultraviolet. Desain dan perubahan warna color shifting juga disempurnakan. Color shifting ink menggunakan teknologi optically variable magnetic ink (OVMI) yang lebih tajam.
Ketiga, perlunya untuk memperkuat bahan. Spesifikasi kertas yang digunakan untuk edisi terbaru yakni standar paper dengan berat 90 gsm. Teknik cetak yang dipakai yakni coating atau varnish, dari edisi sebelumnya tanpa cetak coating atau varnish.