Alasan BI Menaikkan Suku Bunga di Tengah Wacana Kenaikan Harga BBM

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75% usai menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 22-23 Agustus 2022.
Penulis: Agustiyanti
23/8/2022, 15.07 WIB

Bank Indonesia mulai meninggalkan era bunga murah dengan mengerek bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75%. Kebijakan BI ditempuh di tengah wacana kenaikan harga BBM nonsubsidi. 

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan BI menaikkan suku bunga merupakan langkah preventif dan forward looking. BI melihat adanya risiko kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi dan harga pangan yang bergejolak.

"Kebijakan ini untuk memperkuat stabilitas rupiah dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat," ujar Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (23/8). 

Perry menjelaskan, inflasi inti juga berpotensi meningkat seiring naiknya permintaan. BI memperkirakan inflasi secara keseluruhan hingga akhir tahun ini dan tahun depan akan berada di atas 4%, atau melewati target bank sentral. 

Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juli tercatat sebesar 4,94% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan sebelumnya sebesar 4,35%.Inflasi pangan bergejolak sangat tinggi mencapai 11,47%. Demikian pula dengan inflasi harga yang diatur pemerintah yang mencapai 6,51% karena kenaikan harga tiket dan BBM tertentu. Namun demikian, inflasi inti sebenarnya masih rendah sebesar 2,86% didukung konsistesi BI menjaga ekspektasi inflasi. 

"Namun ke depan, IHK diperkirakan meningkat didorong masih tingginya harga pangan dan kesenjangan pasokan," ujarnya. 

Perry mengatakan, kebijakan moneter BI selalu didasarkan pada bagaimana mengendalikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi yang telah ditetapkan BI di kisaran 2% hingga 4%. Dalam kondisi normal, menurut dia, inflasi inti dan IHG bergerak beriringan. 

"Pengendalian inflasi inti sejalan dengan IHK. Namun dalam kondisi sekarang dengan kenaikan harga energi dan pangan global, terjadi divergensi yang besar antara inflasi inti dengan inflasi pangan," kata dia. 

Inflasi IHK pada Juli mencapai 4,94% karena lonjakan pada inflasi harga pangan yang mencapai 11,47%. Perry mengatakan, inflasi harga pangan seharusnya hanya mencapai 5% hingga 6%. 

Selain kelompok pangan, inflasi pada Juli juga disebabkan pada harga yang diatur pemerintah. Meskipun pemerintah memberikan subsidi BBM premium, solar, listrik, dan lainnya, menurut Perry,  harga BBM nonsubsidi naik sehingga mendorong inflasi harga yang diatur pemerintah dan merembet ke biaya transportasi. 

"Inflasi inti memang saat ini masih rendah 2,86%, tapi kami perkirakan ada rembetan dampak lanjutan dari tingginya inflasi kelompok harga bergejolak dan harga yang diatur pemerintah terhadap inflasi inti," kata dia. 

Inflasi inti, menurut dia, menunjukkan kondisi inflasi secara fundamental atau daya beli dari sisi permintaan. BI memperkirakan inflasi inti pada akhir tahun ini berisiko mencapai 4,15% akibat dampak dari rambatan kenaikan harga pangan dan BBM nonsubsidi, sedangkan inflasi IHK dapat mencapai 5,25%. 

"Ini lah pertimbangan pertama kami mengapa menaikkan suku bunga, yakni untuk preventif dan forward looking kenaikan risko inflasi inti dan ekspekatsi inflasi karena dampak rembetan kenaikan harga BBM nonsubsidi dan pangan," kata dia. 

Ke depan, menurut dia, BI akan memperbarui perkiraan inflasi sejalan dengan kebijakan yang akan ditempuh pemerintah.