Lonjakan Inflasi di Korsel, Ayam Goreng Tak Lagi Jadi Makanan Murah

ANTARA FOTO/RETUERS/Heo Ran/hp/cf
Ilustrasi. Korea Selatan mencatatkan inflasi sebesar 5,7% pada Agustus 2022.
Penulis: Agustiyanti
17/9/2022, 21.54 WIB

Inflasi di Korea Selatan pada Agustus memang mereda dari posisi tertingginya dalam 24 tahun terakhir pada bulan lalu sebesar 6,3% secara tahunan menjadi 5,7%. Namun, harga-harga barang masih melambung, salah satunya harga ayam goreng yang menjadi makanan kegemaran warga Negeri Gingseng ini.

Kini harga ayam goreng menjadi tolak ukur biaya hidup yang semakin mahal di Korea Selatan seiring inflasi yang melambung. Seorang Youtuber, Clark Park adalah salah satu dari banyak orang Korea Selatan yang muak dengan harga pangan yang tinggi. Itu sebabnya ia merekam dan ikut dalam antrian diskon ayam goreng yang digelar Homeplus, jaringan Hypermart, Homeplus yang menurunkan harga ayam goreng 12% dari harga yang sudah sangat didiskon. 

"Sudah ada lebih dari 50 orang yang mengantri," kata Park kepada CNN Business dikutip Sabtu (17/9). 

Ia mengatakan, banyak orang yang datang lebih awal dan menunggu lebih dari satu jam. Mereka semua berlari bersama ke toko makanan segera setelah toko itu dibuka. "Saat itulah saya merasakan kegemaran ayam goreng," ujarnya.

Ayam goreng telah lama menjadi makanan favorit konsumen di Korea Selatan — dan sekarang ini juga menggarisbawahi kesengsaraan inflasi di negara itu, dengan harga pangan secara keseluruhan membebani dompet akhir-akhir ini.

Harga rata-rata ayam goreng di Korea Selatan naik 11,4% pada Agustus dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. Ini melampaui lonjakan harga makanan populer lainnya, seperti rebusan kimchi atau daging sapi panggang.

Konsumen mungkin merasakan kesulitan yang lebih besar, tergantung pada seberapa banyak restoran atau supermarket yang mereka kunjungi. Ekonom Nomura di Korea Selatan Jeong Woo Park mengatakan,  harga ayam eceran dalam beberapa kasus naik lebih dari 50% selama dua tahun terakhir. 

Tak hanya di Korsel, orang-orang di seluruh dunia telah menghadapi perjuangan serupa dalam beberapa bulan terakhir karena harga pangan global melonjak. Adegan para konsumen yang berlari demi mendapatkan ayam goreng yang lebih murah menjadi pengingat bagaimana rumah tangga menyesuaikan diri dengan inflasi yang lebih luas.

Makanan Nasional

Ayam goreng adalah bagian dari budaya yang sangat besar di Korea Selatan, mirip dengan fish and chips di Inggris yang juga menjadi lebih mahal tahun ini. Banyak orang melihatnya sebagai camilan wajib di acara olahraga dan tidak jarang pelanggan membelinya beberapa kali dalam sebulan.

Siapa pun yang mengunjungi negara itu pasti akan mencoba ayam gireng lokal dan bir. Itu karena berdasarkan data pemerintah Korsel, satu dari setiap 20 restoran adalah tempat makan dengan menu ayam. 

Menurut data dari penyedia riset pasar Euromonitor International, Korea Selatan adalah pasar ayam goreng terbesar ketiga di dunia, hanya berada di bawah Amerika Serikat dan Cina yang jauh lebih padat. 

Kondisi saat ini telah menciptakan tantangan bagaimana harus menjaga keuntungan tanpa ditinggal oleh pelanggan. "Semua biaya yang terkait dengan ayam goreng meningkat sangat cepat," kata Jeong Woo Park. 

Para pengusaha ayam goreng terkena dampak melonjaknya biaya minyak, sewa, tenaga kerja, layanan pengiriman, dan bahkan pakan ayam. Beberapa restoran sudah mulai menggunakan robot untuk menurunkan biaya tenaga kerja.

Penjual telah mengambil pendekatan yang sangat berbeda terhadap situasi dalam beberapa bulan terakhir. Seorang analis senior makanan dan nutrisi di Euromonitor Yunjin Park mengatakan, toko frenchise ayam terkemuka di negara tersebut telah menaikkan harga menu rata-rata 2.000 won Korea atau sekitar Rp 20 ribu. 

"Hal ini menyebabkan kenaikan harga ayam goreng sekitar 10% hingga 15%," katanya. 

Sementara itu, hypermarket lokal bergerak ke arah lain. Obral bulan Agustus yang dihadiri Clark Park di Homeplus adalah apa yang disebut rantai "ayam dangdang", promosi ayam goreng dengan harga sekitar sepertiga dari harga yang ditawarkan sebagian besar pengecer.

“Jika Anda melihat bagaimana rantai bisnis tersebut dapat menjual dengan harga rendah, itu pada dasarnya karena skala ekonomi,” kata Barsali Bhattacharyya, manajer pengarahan industri di Economist Intelligence Unit (EIU).

Para peritel tersebut dapat membeli lebih banyak produk dan akibatnya meminta harga yang lebih baik dari pemasok mereka. Kini, toko kecil  tidak akan dapat menikmati keuntungan itu, yang berarti mereka melihat biaya mereka akan meningkat. jauh lebih tinggi.

Krisis global

Salah satu alasan Korea Selatan menghadapi masalah tersebutadalah karena hampir setengah dari makanannya diimpor. Korsel adalah salah satu ekonomi Asia yang paling terkena lonjakan harga di seluruh dunia, karena tergantung pada negara lain untuk banyak jenis makanan.

Ekonom Nomura memperingatkan dalam laporan Juni. Singapura, Hong Kong dan Filipina juga dianggap rentan. Harga pangan global telah melonjak tahun ini, sebagian besar karena invasi Rusia ke Ukraina.

Kedua negara biasanya pengekspor utama barang-barang penting seperti gandum dan minyak bunga matahari.

Yang terburuk mungkin sudah berakhir. Pada Agustus, Indeks Harga Pangan PBB turun untuk bulan kelima berturut-turut.

Inflasi di Korsel secara keseluruhan juga turun lebih dari yang diproyeksikan. "Kami pikir inflasi sekarang telah melewati puncaknya, tetapi kemungkinan akan tetap di atas 5% untuk sisa tahun ini," ujar Min Joo Kang, ekonom senior ING untuk Korea Selatan dan Jepang dalam risetnya. 

Ayam yang dulunya adalah comfort food orang Korea, kini tak lagi menjadi menu yang mudah dipesan tanpa ragu.Bahan pokok dapur lainnya juga semakin mahal di tempat lain di Asia.

Thailand  yang pemerintahnya menetapkan harga beberapa bahan makanan pokok telah menaikkan harga mi instan untuk pertama kalinya dalam 14 tahun. "Inflasi makanan adalah masalah yang sulit bagi Asia," kata Bhattacharyya.

Pendapatan di sebagian besar wilayah Asia berada dalam kisaran rendah atau menengah.  Makanan biasanya menjadi bagian besar dari total pengeluaran konsumen dan dalam beberapa kasus, mencapai 30% hingga 40%. 

"Saya pikir, hanya masalah waktu sebelum krisis harga pangan global melanda Asia," ujarnya.