Nilai tukar rupiah terus melemah dan berada di level Rp 15.572 pada penutupan perdagangan hari ini. Depresiasi rupiah ini berpotensi mengganggu dunia usaha, khususnya sektor-sektor yang berorientasi pada impor dan perusahaan-perusahan yang memiliki eksposur utang berbentuk dolar AS dalam jumlah tinggi.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah telah terkoreksi 9,2% dibandingkan akhir tahun lalu. Rupiah bahkan telah melemah 3,9% dalam sebulan terakhir.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan depresiasi nilai tukar akan memukul neraca keuangan perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Hal ini terutama akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS.
"Jika pasar anda adalah pasar domestik atau pendapatan anda dalam rupiah tetapi repatriasi keuntungan dilakukan dalam dolar AS, maka akan terjadi kontraksi pada neraca keuangan karena mismatch mata uang," kata Chatib dalam acara Konferensi Internasional BUMN, Selasa (18/10).
Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri (SULN) Indonesia, perusahaan-perusahaan di dalam negeri memiliki utang luar negeri sebesar US$ 204,1 miliar atau setara Rp 3.032 triliun (kurs Jisdor 14.852/US$) per Agustus 2022. Mayoritas dari utang tersebut dalam bentuk dolar AS, mencakup 88,2%.
Sektor Paling Terdampak
Empat sektor usaha menumpuk utang paling besar dengan kontribusi lebih dari seperempat utang luar negeri korporasi Indonesia.
Sektor jasa keuangan dan asuransi memiliki utang luar negeri paling banyak mencapai US$ 41,7 miliar, disusul sektor pengadaan listrik, gas uap dan udara sebesar US$ 39,7 miliar. Sementara utang sektor pertambangan dan penggalian sebesar US$ 38,9 miliar dan industri pengolahan sebesar US$ 37,9 miliar.
Kepala Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan perusahaan yang basis produksinya menggunakan barang impor juga perlu waspada. Pasalnya, depresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang yang diimpor menjadi lebih mahal.
Meski demikian, tidak semua industri manufaktur terimbas. Misalnya saja industri garmen yang terkenal banyak mengimpor bahan baku seperti benang.
Namun demikian, sektor ini juga melakukan ekspor barang hasil olahan benang tersebut. Sektor tersebut berpotensi menangguk untung dari peningkatan nilai ekspor yang pada akhirnya mengimbangi biaya impor yang meningkat.
"Sektor yang perlu dicermati sebetulnya yang barang-barang produksinya banyak impor tetapi penjualannya di dalam negeri dan segmennya menengah bawah, yakni kelompok masyarakat yang daya belinya sedang terpukul," kata David.
Namun, ia belum melihat alarm bahaya pada kondisi korporasi di dalam negeri sekalipun rupiah terus terdepresiasi. Kondisinya kemungkinan bisa menjadi berbahaya apabila pelemahan rupiah terjadi signifikan dan dalam waktu cepat, sehingga banyak perusahaan terlambat menyesuaikan diri.
BI Pastikan Korporasi Aman
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa depresiasi rupiah saat ini tidak berdampak pada kondisi perbankan dan korporasi. Nilai utang luar negeri korporasi Indonesia juga terus turun.
"Dari sisi korporasi, BI punya ketentuan bahwa korporasi yang memiliki utang luar negeri ada kewajiban pemenuhan untuk mitigasi risiko-risiko valas, baik berkaitan dengan ketentuan hedging maupun ketentuan lainnya," kata Perry dalam konferensi pers secara daring, Kamis (20/10).
Sebagai upaya untuk memitigasi dampak rambatan pelemahan rupiah ke korporasi, BI memastikan terus melakukan stabilisasi nilai tukar. Salah satu yang ditempuh lewat kenaikan suku bunga yang saat ini sudah dikerek 125 bps sejak kenaikan pertama Agustus lalu.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut nominal utang valas perusahaan-perusahaan Indonesia juga terus berkurang. Posisi utang swasta US$ 204,1 miliar saat ini merupakan terendah selama pandemi Covid-19. Kondisi ini mencerminkan korporasi Indonesia berhati-hati dalam nenark utang.
Destry menyebut mayoritas utang swasta itu juga berjangka panjang, mencakup sepertiga dari totalnya. Sisanya, sekitar seperempatnya merupakan utang dengan jatuh tempo kurang dari setahun. Utang yang ditarik oleh korporasi tersebut juga cenderung fixed alias tetap dan ditarik sebelum The Fed menaikkan bunga mulai Maret lalu.
"Kami juga melakukan simulasi, relatif terhadap korporasi yang memiliki eksposur utang luar negeri, itu menunjukkan masih cukup solid," kata Destry dalam acara yang sama dengan Perry.