Dunia Terancam Resesi, Sistem Keuangan Indonesia Aman?

PEXEL
Ilustrasi. Perekonomian global kini menghadapi ancaman resesi dan ketidakpastian yang meningkat sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan banyak negara.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
21/10/2022, 11.47 WIB

Bank Indonesia memastikan stabilitas sistem keuangan Indonesia terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global dan menurunnya prospek perekonomian. Perekonomian global kini menghadapi ancaman resesi dan ketidakpastian yang meningkat.

"BI berpandangan bahwa stabilitas sistem keuangan berada dalam kondisi terjaga di tengah perlambatan ekonomi dunia, tingginya inflasi global serta agresifnya pengetatan moneter di negara maju," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan No.39, Jumat (21/10).

Pertumbuhan ekonomi yang kuat membantu menjaga stabilitas sistem keuangan. Perekonomian Indonesia berhasil tumbuh sekitar 5% di dua kuartal pertama tahun ini. Secara keseluruhan tahun, bank sentral memperkirakan pertumbuhan antara 4,5%-5,3%, dengan kemungkinan condong ke batas atas perkiraan.

Sistem keuangan domestik yang terjaga ini tercermin dari beberapa indikator. Dari sisi perbankan, sejumlah data menunjukan situasi yang masih cukup baik. BI melihat permodalan perbankan sangat kuat tercermin dari Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 25,12% pada Agustus, jauh di atas threshold 8% dalam kerangka basel III.

 "Meskipun secara industri itu kondisinya bervariasi, tetapi antara bank secara agregat itu permodalannya masih tinggi," kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Mal Isnaini SM Yanti dalam acara yang sama dengan Perry.

Likuiditas juga masih longgar. Hal ini tercermin dari alat likuiditas terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 27,35% hingga bulan lalu. Posisi ini masih berada di atas rata-rata sebelum pandemi dan jauh di atas threshold 10%.

Risiko kredit juga berada pada level yang terjaga. Hal ini tercermin dari nonperforming loan (NPL) atau kredit bermasalah yang berada di 2,88% pada Agustus lalu. "Ini masih di bawah ambang psikologis NPL, yang mengindikasikan bahwa perbankan kita di tengah kredit yang masih terus tumbuh tetapi juga risiko kreditnya tetap terjaga," kata Yanti.

Selain itu, perbankan juga disebut telah melakukan langkah-langkah mitigasi seperti pembentukan cadangan bermasalah jika terdapat aset-aset yang bermasalah. Hal ini untuk meminimalisasi risiko di tengah kondisi yang sedang bergejolak seperti sekarang.

Asesmen BI yang diumumkan dalam hasil Rapat Dewan gubernur (RDG) kemarin menunjukan bahwa perekonomian global akan melambat dan ketidakpastian pasar keuangan global meningkat. Pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya dan disertai dengan risiko resesi di beberapa negara. Perlambatan akan terjadi di Amerika Serikat, Eropa dan Cina.

Di sisi lain, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan. Kondisi ini mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif. Kenaikan bunga The Fed diperkirakan lebih tinggi lagi kedepannya dengan siklus yang lebih panjang . Hal ini memicu dolar AS makin perkasa termasuk terhadap rupiah. 

"Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, dan di negara emerging market, termasuk Indonesia diperberat pula dengan aliran keluar investasi portofolio asing," kata Perry, kemarin.

Nilai tukar rupiah terus melemah hingga menembus Rp 15.600 per dolar AS. Rupiah terus melemah sejak menembus level psikologisnya di Rp 15.000 per dolar AS pada 22 September 2022.

Reporter: Abdul Azis Said