Potret Kemiskinan yang Meningkat di Jerman Akibat Kian Mahalnya Pangan

ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/Aditya Pradana Putra/wsj.
Kanselir Jerman Olaf Scholz (kanan) dalam pertemuan KTT G20. Jerman adalah salah satu negara G20 terkaya, tetapi belakangan mengalami kesulitan akibat inflasi.
Penulis: Agustiyanti
22/11/2022, 16.41 WIB

Jerman adalah salah satu negara terkaya di dunia. Namun, harga pangan dan energi yang melonjak telah membuat tanda-tanda peningkatan kemiskinan di negara tersebut semakin terlihat di seluruh negeri. 

Jumlah tunawisma meningkat, para ibu terpaksa tidak makan agar anak mereka bisa makan, dan pensiunan mencari botol bekas untuk ditukar dengan deposit. 

Mengutip media asal Jerman DW, Organisasi payung Jerman untuk organisasi kesejahteraan Paritätische Wohlfahrtsverband menyebut, ada 13,8 juta orang Jerman hidup dalam kemiskinan atau berisiko jatuh ke bawah garis kemiskinan. Pemerintah Jerman juga menyuarakan keprihatinannya tentang meningkatnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Istilah kemiskinan yang digunakan Jerman berbeda dengan yang berlaku secara umum menggunakan klasifikasi Bank Dunia. Kemisikinan yang dimaksud juga bukan berarti jumlah itu yang mewakili risiko kelaparan atau mati kedinginan. Jutaan angka kemiskinan tersebut mengacu pada kemiskinan relatif, yang diukur dengan kondisi kehidupan rata-rata masyarakat yang bersangkutan.

Pada 2021, Jerman menduduki peringkat negara terkaya ke-20 di dunia jika diukur dari PDB per kapita yang mencapai  US$50.700 (€52.200) per orang per tahun. Adapun PDB per kapita adalah  nilai semua barang dan komoditas yang diproduksi di suatu negara dan membaginya dengan jumlah penduduk. Sebagai perbandingan, angka itu mencapai US$136.700 di Luksemburg yang merupakan negara terkaya di dunia dan hanya US$270 di negara termiskin, Burundi.

Di Eropa, relatif sedikit orang yang hidup dalam kemiskinan absolut. Namun, jutaan orang terkena dampak kemiskinan relatif terhadap rata-rata nasional terutama akibat lonjakan harga pangan dan energi. Ini berarti mereka hidup dengan batasan materi yang parah dan hanya dapat memenuhi kebutuhan dengan membatasi gaya hidup mereka dengan cara yang diterima begitu saja oleh mayoritas penduduk.

Seseorang dianggap berisiko miskin atau miskin di Uni Eropa jika pendapatannya kurang dari 60% median negaranya masing-masing. Jika kurang dari 50%, itu dianggap kemiskinan ekstrim.

Untuk Jerman, ini berarti bahwa orang lajang yang berpenghasilan kurang dari €1.148 per bulan dianggap di bawah garis kemiskinan. Sedangkan untuk orang tua tunggal dengan satu anak, angkanya adalah €1.492, dan untuk rumah tangga dengan dua orang tua dan dua anak, €2.410.

Jaring Pengaman Sosial 

Jerman menganggap dirinya memiliki jaring pengaman sosial yang kuat. Siapa pun yang tidak dapat menemukan pekerjaan, atau tidak dapat bekerja, menerima jaminan sosial dasar — ​​sebuah sistem yang dalam bahasa sehari-hari masih dikenal sebagai Hartz IV. Uang ini dimaksudkan untuk menutupi biaya hidup dasar seperti sewa, pemanas, dan air, serta asuransi kesehatan.

Individu atau orang tua tunggal akan mendapatkan €449 atau sekitar Rp 7,2 juta per bulan untuk makanan, pakaian, perlengkapan rumah tangga, produk kebersihan pribadi, dan tagihan seperti internet, telepon, dan listrik dari sistem jaring pengaman tersebut. Adapun untuk setiap anak, orang tua atau pasangan menerima antara €285 atau Rp 4,6 juta dan €376 atau Rp 6,05 juta, tergantung usia.

Hartz IV dan program kesejahteraan publik lainnya telah berulang kali dikritik di Jerman karena hanya mencakup kebutuhan yang paling sederhana. Menanggapi hal ini, pemerintah federal telah mengusulkan untuk menaikkan tarif standar menjadi €503 atau Rp 8,1 juta per bulan, mulai tahun 2023, dan mengubah namanya menjadi Bürgergeld, atau "uang warga".

Namun, menurut ilmuwan sosial dan peneliti kemiskinan Christoph Butterwege, itu pun masih jauh dari cukup. Butterwege mengatakan kepada DW bahwa setidaknya butuh €650 atau setara Rp 10,5 juta bagi orang-orang untuk hidup "bermartabat" dan, misalnya, makan makanan sehat setiap kali makan di Jerman.

Di bawah sistem saat ini, hanya €5 atau Rp 80 ribu per orang per hari yang dialokasikan untuk makanan. Kondisi ini membuat rumah tangga yang lebih miskin untuk membeli lebih sedikit makanan atau makanan dengan kualitas lebih rendah.

Inflasi yang Meroket

Inflasi yang meroket di Jerman membuat semakin banyak orang di negara tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka tanpa bantuan. Jumlahnya naik dari 1,1 juta orang pada 2020 menjadi hampir 2 juta saat ini. Harga roti, susu, buah, dan sayuran di negara tersebut rata-rata lebih tinggi 12% dibandingkan tahun lalu menjadi penyebabnya. 

Kemiskinan juga meningkat di kalangan orang tua. Uang pensiunan bulanan mereka ternyata kini tak cukup menutupi pengeluaran. Para wanita terutama yang paling terkena dampaknya karena cenderung bekerja paruh waktu dan dibayar lebih rendah dari rata-rata. 

Menurut sebuah studi baru dari Bertelsmann Foundation, kemiskinan usia lanjut diperkirakan akan mempengaruhi 20% orang Jerman pada tahun 2036.

Orang dengan pembayaran pensiun di bawah ambang tertentu diperbolehkan untuk mengklaim bantuan pemerintah. Namun, banyak yang menghindarinya karena enggan dianggap membutuhkan. Studi menunjukkan bahwa dua pertiga dari mereka yang berhak mengklaim tunjangan merasa malu untuk melakukannya. Orang yang lebih tua sering kali lebih suka mencoba bekerja lebih lama, atau mengumpulkan kaleng dan botol dengan setoran yang dapat dikembalikan dari tempat sampah, untuk memasukkan beberapa euro lagi ke dalam dompet mereka.

Orang Miskin yang Bekerja

Jumlah orang yang tidak dapat hidup dengan penghasilannya sendiri meski memiliki pekerjaan penuh di Jerman juga semakin meningkat meski upah telah naik baru-baru ini. Seseorang tanpa anak yang bekerja dengan upah minimum €12 atau Rp 193.200 per jam  selama 40 jam seminggu akan menerima pendapatan bersih sekitar €1.480 atau sekitar Rp 23,8 juta per bulan. Meskipun secara nominal berada di atas garis kemiskinan, kelebihannya telah termakan oleh inflasi.

Siswa juga sangat terpengaruh oleh situasi saat ini, terutama penerima dana federal. Siswa-siswa ini menerima maksimum €934 atau setara Rp 15 juta  per bulan, yang mencakup uang untuk perumahan dan asuransi kesehatan. Jumlah ini menempatkan siswa jauh di bawah garis kemiskinan.

Pemerintah Jerman berencana membelanjakan €200 miliar atau sekitar Rp 3.220 triliun untuk meredam dampak harga energi yang tinggi. Namun, ini masih jauh dari cukup untuk menyerap semua biaya tambahan, dan para ekonom percaya bahwa inflasi akan tetap tinggi. Kehidupan di Jerman akan tetap mahal di masa mendatang, dan ini akan dirasakan terutama oleh mereka yang tidak memiliki penyangga keuangan dan sedikit tabungan.