Kemenkeu: Kenaikan Cukai Rokok Tak Akan Ciptakan Lonjakan Pengangguran

ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/wsj.
Ilustrasi. Kementerian Keuangan memperkirakan kenaikan cukai rokok tak akan signifikan berdampak ke pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan juga relatif kecil.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
19/12/2022, 19.22 WIB

Pemerintah menetapkan kenaikan rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok naik rata-rata 10% pada tahun depan. Kementerian Keuangan memastikan kenaikan tersebut tak akan berdampak signifikan kenaikan jumlah pengangguran.

Dalam hitung-hitungan Kemenkeu, kenaikan rata-rata tarif cukai rokok tahun depan 10% menyebabkan kenaikan inflasi pada kisaran 0,1% hingga 0,2%. Dampaknya ke pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan juga relatif kecil.

"Pengambilan kebijakan penyesuaian tarif CHT juga telah mempertimbangkan sisi makro ekonomi, terutama di tengah situasi ekonomi domestik yang terus menguat dalam masa pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan ini diperkirakan memberikan dampak yang terbatas pada inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) dan sudah terkelola dengan baik," demikian dikutip dari keterangan resmi Kemenkeu, Senin (19/12).

Pemerintah memutuskan kenaikan tarif cukai rokok dua tahun sekaligus, masing-masing 10% untuk tahun depan dan 2024. Tarif cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) I dan II rata-rata akan meningkat 11,5% dan 11,75%, sedangkan Sigaret Putih Mesin (SPM) I dan II akan naik 12% dan 11%. Sigaret Kretek Tangan (SKT) I, II, dan III masing-masing naik 5%.

Aturan detail yang berisi ketentuan harga jual eceran (HJE) juga telah rilis melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191 tahun 2022.

Setiap kenaikan cukai rokok bertujuan untuk membuat harganya akan menjadi mahal dan semakin tidak terjangkau. Dengan kenaikan 10% tahun depan, Kemenkeu memperkirakan indeks kemahalan rokok akan naik 12,46% pada 2023 dan 12,35% di tahun 2024.

Kemenkeu menyebut, kenaikan cukai rokok tersebut untuk mendukung target penurunan  prevalensi merokok pada anak-anak. Penyesuaian tarif ini kana menurunkan prevalensi merokok anak menjadi 8,92% dan menjadi 8,79% pada tahun 2024.

"Penurunan prevalensi merokok anak ini dapat berdampak positif bukan hanya dari sisi aspek anggaran kesehatan namun juga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat sebagai bentuk komitmen untuk terus meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia," kata Kemenkeu.

Kemenkeu menyinggung besarnya anggaran yang dikeluarkan negara untuk perawatan kesehatan pasien yang mengidap penyakit akibat rokok. Alokasi anggaran penanggulangan dampak merokok mencapai Rp 17,9 triliun - Rp 27,7 triliun setiap tahunnya.

Dari total biaya tersebut, terdapat Rp 10,5 triliun - Rp 15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Jumlah tersebut setara 20%-30% dari subsidi penerima bantuan iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tiap tahun.

Kenaikan tarif cukai ini akan membuat harga di masyarakat makin mahal sehingga ada potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal atau yang tidak memiliki pita cukai. Meski demikian, Kemenkeu memastikan pengawasan dan penindakan bakal terus ditingkatkan, baik yang bersifat preventif maupun represif.

Reporter: Abdul Azis Said