Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan temuan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan mencapai Rp 300 triliun berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sejak 2009. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengklairfikasi, pihaknya selama ini telah menindalanjuti laporan-laporan dari PPATK.
"Yang terkait dengan pencucian uang, tindak lanjutnya tentu perlu ditangani aparat penegak hukum," ujar Suahasil dalam konferensi pers usai menggelar pertemuan dengan Mahfud MD, Jumat (10/3).
Ia menjelaskan, terdapat dua kerja sama yang dilakukan antara Kementerian Keuangan dengan PPATK. Kerja sama pertama terkait informasi transaksi mencurigakan yang mungkin dilakukan pegawai Kementerian Keuangan. Data ini digunakan untuk mengecek pegawai yang akan dipromosi, mutasi, maupun dugaan fraud.
"Ini adalah kerja sama terus menerus dengan PPATK sejak tahun 2007 hingga sekarang, ada 266 pertukaran laporan dari PPATK kepada kami maupun yang diminta Kemenkeu terhadap PPATK. Rinci sekali transaksi dan analisisnya," kata dia.
Sementara kerja sama kedua, dilakukan secara langsung antara PPATK dengan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai. Kerja sama ini memastikan optimalisasi pengamanan dan memastikan hak penerimaan negara.
"Ini biasanya terkait dengan wajib pajak atau pihak-pihak yang seharusnya membayarkan pajak atau kepabeanan kepada negara. Kami telah sampaikan bahwa dari data yang kami miliki, melalui kerja sama ini telah berhasil me-recover penerimaan Rp 7,08 triliun," ujar Suahasil dalam Konferensi Pers, Jumat (10/3).
Menurut Suahasil, pihaknya membuka penuh kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengejar tindak pidana pencucian uang di lingkup Kementerian Keuangan. Pihaknya akan membantu jika diperlukan upaya pemeriksaan pajak maupun kepabeanan.
Mahfud dalam konferensi pers yang sama mengklarifikasi temuan transaksi mencurigakan mencapai Rp 300 triliun yang sempat disampaikannya. Transaksi mencurigakan yang melibatkan 467 pegawai Kementerian Keuangan ini, menurut dia, tak seluruhnya terkait dengan kasus korupsi.
"Laporan dugaan pencucian uang oleh PPATK itu begitu dikeluarkan harus ada laporan feedback seperti apa. Nah itu, ada bermacam-macam, ada yang sudah ditangani atau ada yang belum dan seterusnya. Jadi tidak benar isu berkembang di Kemenkeu, ada korupsi Rp 300 triliun," kata dia.
Meski demikian, menurut dia, pihaknya telah mengambil sampel dari 7 kasus yang dilaporkan PPATK. "Sudah dihitung, 7 kasus itu mencapai Rp 60 triliun TPPU-nya," kata Mahfud.
Ia menjelaskan, temuan transaksi mencurigakan yang disampaikannya mencapai Rp 300 triliun merupakan dugaan dari tindak pidana pencucian uang. "Tindak pidana pencucian uang itu bukan korupsi itu sendiri," ujarnya.
Mahfud memberikan contoh mudah terkait tindakan pencucian uang yang baru ditemukan PPATK, yakni terkait kasus Rafael Alun. Menurut dia, publik sudah dikejutkan dengan laporan kekayaan Rafael berdasarkan LHKPN 2021 yang mencapai Rp 56 miliar. Namun, ternyata PPATK menemukan dugaan tindak pidana pencucian uang yang lebih besar.
"Lalu dibuka lah, Pak , ternyata pada 2013, kami sudah mengirimkan surat bahwa ada indikasi yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang. Ternyata ditemukan dugaan pencucian uangnya Rp 500 miliar, ujarnya.
Mahfud mengatakan, korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai Kemenkeu mungkin tak besar. Namun, tindak pidana pencucian jauh lebih besar dan perlu dikonstruksikan sesuai hukum.
"Misalnya, korupsi Rp 10 miliar bentuknya gratifikasi. Yang dibelakang dia, lalu anaknya rekening berapa, istrinya berapa. Ini lalu yang dalam UU kita, supaya dikonstruksikan dalam hukum tindak pidana pencucian uang. Jadi kalau disimpulkan, di Kemenkeu mungkin ada masalah-masalah itu, tapi tidak semuanya benar korupsi," katanya.
Ia mengatakan, saat PPATK melaporkan ke Kementerian Keuangan maupun kementerian terkait soal dugaan tindak pidana pencucian uang, mereka harus melaporkannya ke aparat penegak hukum untuk diselediki. Mahfud meminta kementerian pro aktif untuk menindaklanjuti proses penyidikan. "Saya harus berpikir, siapa yang mau menangani, kalau tidak ada perkembangan, saya pindah, misalnya dari Kejaksaan ke KPK, berdasarkan kesepakatan saja antar pimpinan," ujarnya.