Kejatuhan tiga bank di Amerika Serikat, serta masalah Credit Suisse hingga Deutsche Bank memicu kekhawatiran kembali terjadinya krisis perbankan global. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia memastikan permasalahan perbankan di AS dan Eropa tak berdampak langsung terhadap perbankan nasional, tetapi akan terus memantau perkembangannya secara cermat.
"BI, Kemenkeu, OJK, dan LPS, kami memantau dengan kewaspadaan tinggi bagaimana perkembangan di Amerika Serikat dan Eropa. Kami berdiskusi, mendalami, dan melakukan stress test," ujar Sri Mulyani dalam Gala Seminar ASEAN 2023: Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience di Jakarta, Rabu (29/3).
Ia menjelaskan, ASEAN memiliki pengalaman dengan krisis perbankan dan finansial pada 1997-1998. Sejak krisis tersebut, menurut dia, perbankan di ASEAN telah memperkuat pengaturan, terutama untuk menjaga kehati-hatian bank. Selain itu, penguatan pengaturan juga dilakukan di bidang pasar modal dan institusi keuangan nonbank.
"Kami juga memperkuat institusi, dalam hal Indonesia, Bank Indonesia menjadi independen dan memiliki target inflasi yang kredibel," kata dia.
Di sisi lain, menurut dia, ASEAN juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat. Menurut Sri Mulyani, ASEAN merupakan satu-satunya kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, berlangsung lama, dan stabilitasnya terjaga. "Ini sangat membantu membangun reputasi dan mendorong lebih banyak investasi," kata dia.
Sri Mulyani mengatakan, kondisi ekonomi negara tetangga yang baik, mendorong pemerintah Indonesia dalam menciptakan kebijakan yang hati-hati. "Kalau kita melihat ke luar kawasan ASEAN, sangat berbeda dan tidak stabil," kata dia.
Selain itu, menurut dia, negara-negara ASEAN+3 atau ditambah Jepang, Korea Selatan, dan Cina juga memiliki kesepakatan Chiang Mai Initiative (CMI). Ini merupakan kerja sama multilateral swap atau kesepakatan pertukaran valuta asing jika dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Negara yang membutuhkan valas dapat meminjam dari negara lain yang tergabung dalam skema tersebut.
"Ini adalah jaring pengaman regional dan ketika kita terlibat dalam skema ini, maka kita harus memastikan bahwa jaring pengaman ini tidak digunakan," kata dia.
Sejak ditandatangani pertama kali pada 2010, jaring pengaman tersebut belum pernah diaktifkan. Adapun cadangan valas yang disepakati melalui insiatif ini kini mencapai US$ 240 miliar. Ini menunjukkan kondisi stabilitas ekonomi ASEAN yang terjaga.
Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan kondisi sistem keuangan di Tanah Air, termasuk perbankan cukup tahan banting. Pengalaman krisis kuangan yang dialami ASEAN pada 1998 telah membuat Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya telah melakukan reformasi pada pengaturan sistem keuangan.
"Mayoritas bank di ASEAN, terutama di Indonesia memiliki modal yang tinggi. Rasio permodalan perbankan di Indonesia contohnya, mencapai lebih dari 25%, sangat tinggi," kata dia.
Perbankan di ASEAN, menurut dia, juga telah mengikuti standar pengaturan internasional. Selain itu, hampir setiap negara memiliki komite stabilitas sistem keuangan.
Meski demkian, menurut Perry, ini juga tidak berarti bahwa regulator sistem keuangan tak memantau perkembangan yang terjadi di AS dan Eropa. "Kami di KSSK berkomunikasi dengan sangat intens, memiliki whatsapp group dan terus melakukan diskusi dan pemantauan," kata dia.