Kurs rupiah menguat 0,75% ke level Rp 14.728 per dolar AS pada perdagangan siang ini hingga pukul 13.30 WIB. Analis melihat rupiah masih berpotensi menguat hingga di bawah Rp 14.500 per dolar AS ditopang oleh sejumlah sentimen eskternal dan internal.
Rupiah telah menguat sekitar 5% sejak awal tahun. Kurs rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 14.600 per dolar AS pada perdagangan hari ini sebelum kembali ke level Rp 14.700 per dolar AS.
Analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra menilai, rupiah masih berpeluang menguat terhadap dolar AS karena ekspektasi investor terkait pemangkasan suku bunga acuan AS di akhir tahun. Ekspektasi ini muncul setelah serangkaian data ekonomi AS menunjukkan pelambatan dan kekhawatiran terhadap krisis perbankan AS. Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS juga terlihat menunjukkan penurunan.
Namun demikian, menurut dia, ekspektasi pasar tersebut bisa berubah-ubah tergantung rilis data ekonomi terbaru. Amerika Serikat akan merilis data produk domestik bruto kuartal I 2023 pada malam ini dan data inflasi konsumen pada Jumat (28/4). Adapun, ia melihat rupiah berpeluang menguat di bawah Rp 14.500 per dolar AS dalam beberapa hari ke depan.
Kepala Analis DCFX Lukman Leong menilai, rupiah bahkan berpeluang menguat hingga di bawah Rp 14.000 per dolar AS dalam jangka panjang "Tetapi itu tergantung penilaian BI apakah itu nilai wajar, dan mencegah volatilitas, mengutamakan kestabilan nilai tukar," kata dia.
Adapun penguatan rupiah didukung oleh harapan peningkatan cadangan devisa yang besar kedepannya oleh surplus perdagangan berkepanjangan. Dolar AS sendiri masih berkonsolidasi menjelang rilis data PDB AS kuartal I 2023.
Penguatan rupiah ini akan memberi sejumlah dampak positif bagi ekonomi domestik. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, penguatan rupiah akan memberi sinyal positif ke investor sehingga mereka berminat membawa masuk modalnya ke Indonesia.
"Sebetulnya pasar melihat stabilitasnya ketimbang levelnya berapa. Sehingga dengan stabilitas ini tentunya berdampak positif bagi investasi di pasar keuangan maupun investasi sektor riil," kata Josua, Senin (17/4).
Penguatan rupiah jugan dapat menjaga agar harga barang tidak mahal. Jika nilai tukar menguat, maka barang impor juga akan lebih murah. Adapun biaya impor yang murah akan membantu menekan biaya produksi karena beberapa barang modal dan bahan baku dibeli dari luar negeri. Dengan demikian, konsumen menikmati untung dari tidak adanya kenaikan harga barang oleh produsen.
Pemerintah juga menikmati untung. Beberapa dari bunga utang yang dibayar pemerintah adalah dalam mata uang asing terutama dolar AS. Penguatan rupiah akan membuat pembayaran bunga utang menjadi lebih murah. Dalam sensitivitas RAPBN 2023, setiap pelemahan rupiah 100 poin per dolar AS, akan menyebabkan defisit anggaran melebar Rp 3,1 triliun.
Meski demikian, penguatan rupiah tak selulu menguntungkan. Penguatan rupiah bisa membuat daya saing barang ekspor Indonesia menurun karena harganya menjadi lebih mahal. Namun Josua melihat efeknya terbatas.
"Penguatan rupiah sejauh ini tidak berdampak banyak selama faktor jenis barang ekspor kita produk manufaktur atau bernilai tambah, tentun dampaknha tidam signifikan, kecuali kalau ekspornya barang mentah saja, ini akan mengurangi daya saing ekspor kita," kata Josua.
Senada, Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky melihat efek penguatan rupiah ke daya saing ekspor akan terbatas. Ia menilai permintaan global terhadap produks eksppr Indonesia masih cukup kuat sekalipun penguatan rupiah nantinya membuat harga barang ekspor itu menjadi lebih mahal.
Dari sisi APBN, Riefky melihat dampak positifnya terhadap pembayaran subsidi energi karena beberapa BBM yang disubsidi pemerintah dibeli dari impor. Dengan rupiah menguat, maka harga impor BBM itu menjadi lebih murah.
Proyeksi Rupiah ke Depan
Tren penguatan rupiah sebetulnya sudah dimulai sejak beberapa pekan lalu, terutama setelah kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) mendorong ekspektasi The Fed akan dovish semakin meluas.
Penguatan berlanjut pekan lalu setelah rilis beberapa data penting, seperti inflasi konsumen dan produsen yang menurun tajam serta notulen rapat The Fed yang meramalkan kemungkinan resesi di akhir tahun. Rupia menguat 1,4% hanya sepanjang pekan lalu saja, dan sempat turun hingga level Rp 15.600 pada perdagangan Jumat pagi (14/4).
Josua melihat kondisi ke depan masih cukup suportif mendukung penguatan rupiah. Ia memperkirakan rupiah masih berpeluang tetap bertahan di bawah level Rp 15.000 sampai akhir tahun.
"Kami melihat kondisinya secara fundamental masih cukup supportif di level saat ini. Dari sisi kinerja ekspor yang positif, serta investasi yang juga tetap baik ini menjadi indikasi rupiah masih akan terjaga di bawah 15.00p/US$," ujarnya.
Selain itu, kebijakan baru revisi aturan devisa hasil ekspor (DHE), yang rencananya mewajibkan repatriasi sepertiga nilai ekspor SDA dan hilirasasi, diharapkan semakin membantu penguatan rupiah. Cadangan devisa berpeluang semakin tebal dengan aturan baru ini.