Bank Indonesia menyebut, Indonesia sebenarnya sudah siap secara teknis untuk menerapkan redenominasi atau penyerderhanaan digit mata uang. Namun demikian, Kementerian Keuangan mengatakan belum ada perkembangan terkait pembahasan RUU yang akan menyederhanakan nominal mata uang misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 tersebut.
"Kami belum lihat lagi. Redenominasi itu agenda cukup lama sehingga nanti kita lihat saja, tetapi sekarang belum ada perkembangan," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jumat (16/6).
Kemenkeu pada 2019 mengusulkan 19 RUU yang terkait bidang tugasnya untuk dimasukkan dalam Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Salah satunya RUU redenominasi.
Rencana pembahasan RUU itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 77 tahun 2020. Dalam beleid itu menjelaskan urgensi redenominasi untuk efisiensi perekonomian berupa percepatan wakti transaksi, mengurangi risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena jumlah digitnya lebih sedikit. Redenominasi ini juga membantu menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN.
Isu redenominasi kembali muncul dalam rapat antara BI dan Komite IV DPD RI beberapa hari lalu. BI menyebut Indonesia sebetulnya sudah siap secara teknis untuk redenominasi dari tahun 2019 atau sebelum Covid-19. Perekonomian dan politik saat itu juga sangat stabil.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut persiapan teksni sudah dilakukan hingga level ritel. Skema price tagging juga sudah ditentukan, dengan mengubah pecahan Rp 50.000 menjadi Rp 50.
"Sebenarnya sudah sampai sana (persiapan tingkat ritel), karena kalau untuk uang saja relatif mudah untuk BI, kita tinggal cetak dan umumkan misalnya yang Rp 50.000 menjadi Rp 50," kata Destry, Rabu (15/6).
Namun, menurut dia, tantangannya berada di bagian lainnya yakni upaya untuk mengontrol harga barang tidak ikut berubah saat dilakukan redenominasi. Ia menyebut bukan tidak mungkin ada pihak yang mencoba mengambil untung dengan melakukan manipulasi psikologis terhadap konsumen.
Ia mencontohkan, barang A sebelum redenominasi bernilai Rp 50 ribu, tetapi karena redenominasi tiga nol maka seharusnya harga berubah menjadi Rp 50. Namun aksi nakal dengan mengubah harganya menjadi Rp 75 bisa saja dilakukan dengan memanipulasi pembeli bahwa seolah harganya tetap jauh lebih murah dari harga sebelum redenominasi.
"Jadi, ini yang harus kita kontrol, dan tidak bisa BI mengerjakannya sendiri. Ini perlu melibatkan segala macam aparat karena harus ada pengawasan dari Kementerian Perdagangan juga dan seterusnya," kata Destry.