Pelemahan ekonomi Cina berisiko mempengaruhi perekonomian domestik pada tahun ini. Kondisi tersebut tengah menjadi perhatian Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparan di depan Komisi XI DPR RI pada dua pekan lalu menyebut, pertumbuhan ekonomi Cina awal tahun ini lebih lemah daripada yang diharapkan usai pelonggaran kebijakan pembatasan Covid-19. Hal itu bahkan disebut sebagai salah satu downside risk atau pemberat kinerja ekonomi Indonesia tahun depan.
Hal serupa juga disinggung Gubernur BI Perry Warjiyo dalam keterangan terbarunya. Ia menyebut, perekonomian Cina ternyata pulih lebih lanbat dari perkiraannya karena dua faktor, yakni efek perang dagang dengan AS yang menghambat ekspor Cina serta dampak pelonggaran kebijakan Covid-19 tidak signifikan.
"Pada bulan-bulan sebelumnya, kami termasuk analisis dari kantor kami di Beijing meyakini bahwa pembukaan kembali restriksi mobilitas akan cepat mendorong pertumbuhan ekonominya. Namun, ternyata tidak sesuai yang diperkirakan," kata Perry, Kamis (22/6).
Ekonomi Cina tumbuh 4,5% secara tahunan pada kuartal pertama tahun ini. Namun, tanda-tanda pelemahan belakangan mulai terlihat dari indeks PMI Manufaktur yang terus turun dalam tiga bulan terakhir dengan mencatat indeks di bawah 50 alias terkontraksi dalam dua bulan terakhir. Merespons alaram perlambatan tersebut, bank sentral Cina telah memangkas suku bunga acuannya.
Dampak Ekonomi Cina ke Indonesia
Cina merupakan mitra dagang utama Indonesia. Sekitar seperempat dari nilai ekspor nonmigas Indonesia dikirim ke negara tersebut, menjadikannya negara tujuan utama barang-barang Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat perlambatan ekonomi Cina akan berdampak ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Ekspor Indonesia terancam turun jika permintaan dari Cina melemah seiring lesunya perekonomian.
"Kami perkirakan perlambatan ekonomi Cina juga akan menekan harga komoditas global, dan ini juga mempengaruhi ekonomi Indonesia yang masih cukup banyak mengandalkan komoditas, terutama batu bars dan CPO," kata Josua dalam keterangannya, Jumat (23/6).
Ia juga telah membuat simulasi efek yang akan dirasakan Indonesua jika Cina melemah. Dari estimasinya, sensitivitas pertumbuhan ekonomi Cina terhadap Indonesia sebesar 0,39%. Artinya, perlambatan pertumbuhan ekonomi 1% di Cina akan berpengaruh terhadap perlambatan 0,39% di Indonesia.
Sensitivitas tersebut merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan mitra dagang utama lainnya seperti Amerika Serikat.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky melihat perlambatan Cina berimplikasi terhadap aktiviras produksi yang ikut turun. Padahal, negara tersebut merupakan salah satu produsen yang memasok barang-barang ke banyak negara, termasuk Indonesia. Nilai impor Indonesia dari Cina menyumbang sekitar sepertiga dari total impor.
"Dengan suplai yang berkurang dari Cina, implikasinya akan terjadi peningkatan harga-harga produk yang dijual Cina di pasar global. Sehingga harga barang yang kita impor bisa naik atau terjadi imported inflation," kata Riefky.