Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan kepada para calon pemilih untuk menentukan calon pemimpin secara rasional dengan melihat data.
"Siapa saja yang Anda pilih, itu adalah hak Anda sebagai warna negara. Namun, gunakan secara rasional, baca data, baca statement. Lihat dan pilih path mana Indonesia ke depan," ujarnya dalam acara Indonesia Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2023 di Jakarta, Kamis (20/7).
Ia menjelaskan, orang yang membaca data memiliki rasionalitas yang terlatih. Menurut dia, emosi orang yang memahami data akan lebih terkelola. "Orang yang enggak bisa baca data mudah sekali diprovokasi. Dikasih sedikit, dikilik-kilik, langsung emosi. Entah itu sentimen suku, agama, ras, nasionalisme, ketidakadilan, mudah sekali diprovokasi," kata dia.
Ia juga mengatakan, pemerintah selama ini menggunakan data dalam mengambil kebijakan. Menurut dia, negara yang memahami data, memiliki rasionalitas yang terlatik. "Kalau negara tidak bisa membaca data, maka dia bisa mundur ke belakang, dan membutuhkan waktu lama untuk kembali," ujarnya.
Sri Mulyani dalam kesempatan tersebut juga menceritakan bagaimana Indonesiaberhasil selamat dari berbagai krisis ekonomi. Pertama, saat krisis keuangan pada 1998-1999, kedua saat terjadi krisis ekonomi global pada 2009-2010. dan terakhir adalah pandemi COVID-19.
Menurut dia, Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang bisa belajar dari krisis. Pada krisis ekonomi 1998-1999 yang melahirkan era reformasi, negara hadir dengan memberikan jaminan untuk menyelamatkan sektor perbankan.
“Tahun 1998-1998 itu shock yang luar biasa. Biaya dari shock itu adalah bailout (dana talangan) yang menjadi the most expensive bailout in the world. Indonesia dapat tagihan dari penangana krisis yang luar biasa besar,” kata dia.
Akibat dari krisis itu, Indonesia berubah total dalam mengelola keuangan negara. Sementara dari krisis ekonomi global terjadi pada 2009-2010, Indonesia belajar menyempurnakan regulasi untuk menciptakan stabilisasi di sektor keuangan dan nonkeuangan.
Sementara dari krisis terakhir yang dihadapi adalah pandemi COVID-19, pemerintah membuat sejumlah langkah nonkonvesional seperti melebarkan defisit anggaran. Hasilnya, perekonomian Indonesia bisa pulih dan tumbuh di atas 5% dalam enam kuartal secara beruntun.
“Defisit APBN yang tadinya di atas 3 persen sekarang sudah turun dan berada di angka 2,38 persen. Ini adalah konsolidasi fiskal tercepat dan banyak anggota G20 yang senang mendengar ini, ada sebuah negara yang bisa me-manage dengan baik serta performed well di masa pandemi,” jelasnya.
Sri Mulyani menambahkan, Indonesia termasuk sedikit negara yang bisa pulih dan mengatasi krisis dengan baik. Namun, Indonesia harus siap untuk menghadapi krisis berikutnya. Contohnya adalah krisis perubahan iklim.
Pemerintah, kata dia, tidak bisa hanya tinggal diam dalam mengantisipasi krisis perubahan iklim. Karena itu, di setiap krisis negara akan selalu hadir dan tentunya harus didukung oleh keuangan negara yang mumpuni sebagai instrumen utama dan pertama dalam menghadapi krisis.
“Dua hari lalu saya bertemu dengan Menteri Keuangan Singapura, ketika terjadi peralihan dari pandemi ke endemi dia mengatakan kita harus siap untuk menghadapi the next pandemi. Belajar dari pandemi kemarin, bagaimana kita semua berhadapan dengan penyakit menular,” kata Sri Mulyani.
Belajar dari tiga krisis yang terjadi dalam perjalanan Indonesia yang panjang, Sri Mulyani pun optimistis Indonesia bisa menghadapi krisis yang akan terjadi berikutnya.