KSSK: Sistem Keuangan RI Aman, Tapi Perlu Waspadai Suku Bunga Global

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) II Tahun 2023 di Jakarta, Senin (8/5/2023).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
1/8/2023, 18.11 WIB

Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK Indonesia menilai sistem keuangan Indonesia pada kuartal kedua tahun ini masih terjaga di tengah dinamika pasar keuangan global. Meski demikian, berlanjutnya kenaikan suku bunga di negara maju masih jadi tantangan bagi Indonesia ke depan.

"Perkembangan ini (sistem keuangan terjaga) seiring kondisi perekonomian dan sistem keuangan domestik yang resilien, serta didukung oleh koordinasi KSSK yang terus diperkuat," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga sebagai Ketua KSSK dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/8).

Meski asesmen terbaru menunjukan kondisi keuangan masih aman, Sri Mulyani menyebut KSSK berkomitmen untuk terus berkoordinasi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan risiko global ke depan. KSSK beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Ketidakpastian ekonomi global ke depan menurutnya masih tetap tinggi. Di samping itu, tekanan kenaikan harga-harga atau inflasi yang masih tinggi terutama di negara maju akan menjadi tantangan ke depan.

Tekanan inflasi di berbagai negara maju masih bertahan didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat ditambah dengan pasar tenaga kerja yang relatif ketat. Dengan demikian, inflasi tinggi telah mendorong ekspektasi kenaikan lebih lanjut suku bunga di negara maju.

Di Amerika Serikat, setelah kenaikan 25 bps bulan lalu, beberapa pelaku pasar masih mengantisipasi kemungkinan bank sentral masih menaikkan suku bunga 25 bps pada pertemuan bulan depan.

Kondisi ini, kata Sri Mulyani, bisa menyebabkan aliran modal ke negara-negara berkembang akan lebih selektif. Selain itu, sikap hawkish bank sentral negara maju itu berpotensi meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Oleh karena itu diperlukan penguatan respons kebijakan untuk dapat memitigasi risiko rambatan global tersebut," ujar dia.

Meski demikian, bendahara negara itu mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini bergerak ke arah lebih baik. Dana Moneter Internasional (IMF) telah merevisi ke atas perkiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi 3%, dari perkiraan sebelumnya hanya 2,8%.

Prospek yang lebih cerah tersebut terutama ditopang ekonomi maju seperti AS dan Eropa yang diperkirakan tumbuh lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Namun ada risiko perekonomian Cina tidak secerah perkiraan sebelumnya karena konsumsi yang tertahan dan investasi yang terbebani persoalan di sektor properti.

Reporter: Abdul Azis Said