Jakarta Dikepung PLTU, Benarkah WFH Bisa Perbaiki Kualitas Udara?

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Lanskap gedung perkotaan diselimuti kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (15/8). Berdasarkan data pada situs IQAir pada Selasa (15/8) pukul 08.00 pagi WIB, kualitas udara di Jakarta mencapai 174 AQI (Indeks Kualitas Udara). Hal tersebut menempatkan Indonesia dalam posisi ke-dua kota dengan polusi udara terburuk, dan menjadi negara di Asia Tenggara dengan tingkat polusi udara paling buruk.
Penulis: Agustiyanti
15/8/2023, 12.51 WIB

Kualitas udara di Jakarta saat ini menjadi salah satu yang terburuk di dunia. Pemerintah menuding transportasi sebagai penyebab utama polusi di Ibu Kota dan mewacanakan pemberlakuan sistem kerja work from home atau WFH hingga rekayasa cuaca sebagai solusi. Benarkah demikian?

Menurut Presiden Joko Widodo, kebijakan hybrid working  perlu dilakukan di DKI Jakarta sebagai strategi jangka pendek untuk mengurangi polusi udara. "Kita harus berani mendorong banyak kantor melaksanakan hybrid working, yakni gabungan antara work from office dan work from home," kata Jokowi di Istana Negara, Senin (18/4). 

Untuk itu, Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berencana membatasi jumlah pekerja yang datang ke Ibu Kota dalam waktu dekat. Menurut Heru, pembatasan pekerja tersebut akan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di Jakarta, khususnya di bawah pemerintah daerah. Dia berencana mengurangi pekerja pemerintah daerah yang datang ke kantor hingga 60%.

Mengapa kebijakan WFH ingin ditempuh?

Wacana kebijakan WFH muncul karena pemerintah melihat transportasi menjadi penyebab utama pencemaran udara di Jakarta. "Dalam catatan kami, ada 24,5 juta kendaraan bermotor pada 2022," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam rapat terbatas tentang peningkatan kualitas udara, Senin (14/8). 

Menurut dia, mayoritas kendaraan bermotor di Jakarta adalah sepeda motor dengan komposisi mencapai 78%. Adapun sepeda motor menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibandingkan mobil pribadi bensin, mobil pribadi solar, mobil penumpang, dan bus. Rata-rata pertumbuhan pun cukup tinggi mencapai 5,7% atau setara 1,2 juta unit dan sepeda motor 6,38% atau setara 1,04 juta unit

Oleh karena itu, salah satu solusi yang juga ditawarkan pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara adalah mendorong masyarakat melakukan uji emisi kendaraan bermotor. Uji emisi dinilai dapat  menggerakkan masyarakat melakukan inspeksi dan perawatan terhadap kendaraannya sendiri.

Ia juga menekankan bahwa kualitas udara Jakarta yang buruk juga dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kemarau panjang, konsentrasi polutan, hingga manufaktur industri.

Benarkan Transportasi Penyebab Utama Kualitas Udara Jakarta Buruk? 

Jokowi sebenarnya menganalisis penyebab lainnya yang juga signifikan terhadap pencemaran udara di Jakarta, yakni emisi dari industri manufaktur. Oleh karena itu, salah satu wacana yang juga digulirkan dalam rapat terbatas untuk mengatasi pencemaran udara pada Senin (14/8) adalah memperketat regulasi industri terkait polusi udara. 

"Pembuangan emisi dari transportasi dan juga aktivitas industri di Jabodetabek, terutama yang menggunakan batu bara di sektor industri manufaktur," kata Jokowi

Lembaga independen, Centre for Research on Energy and Clean Air dalam penelitiannya berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia yang dirilis pada Juli 2023 menyebabkan bahwa emisi yang disebabkan oleh batu bara bertanggung jawab terhadap tingkat polusi di Jabodetabek.

Berdasarkan estimasi dari Air Quality Life Index (AQLI), 91% penduduk Indonesia terpapar tingkat polusi udara yang lebih buruk dibanding yang disyaratkan pada pedoman WHO. Jabodetabek menjadi wilayah terpapar polusi partikulat tingkat tinggi yang dapat menyebabkan harapan hidup warganya 5,5 hingga 6,4 tahun lebih singkat daripada mereka yang tinggal di wilayah dengan kualitas udara sesuai dengan pedoman WHO.

Masih dalam laporan tersebut, sebuah studi tahun 2015 yang dilakukan oleh Atmospheric Chemistry Modeling Group dari Harvard University dan Greenpeace Asia Tenggara, polusi udara yang diemisikan oleh pembangkit listrik tenaga batubara diperkirakan bertanggung jawab atas 6.500 kematian dini setiap tahun pada tahun 2011. Untuk setiap penambahan baru pembangkit listrik sebesar 1.000 MW, rata-rata 600 orang dewasa dan anak-anak Indonesia akan terkena dampak parah penyakit pernapasan akut dan kronis akibat terpapar partikel halus dan polutan gas.

Berdasarkan data Global Energy Monitor, terdapat 16 PLTU yang berlokasi berdekata dengan  Jakarta. Ini terdiri dari 10 PLTU di Banten dan enam PLTU di Jawa Barat. Adapun batu-bara yang menghasilkan udara kotor juga digunakan oleh industri tak sebatas pada PLTU, sebagai berikut.

 

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat, masalah yang dihadapi Jakarta kemungkinan besar serupa dengan ibu kota negara-negara lainnya yang juga dikelilingi kawasan industri. Ia tak percaya transportasi menjadi penyebab utama buruknya kualitas udara di ibu kota.

"Kendaraan itu porsinya sangat kecil. Ini direfleksikan pada ibu kota-ibu kota di seluruh dunia yang juga tercemar udaranya. Mayoritas dari pabrik dan PLTU," ujar Satria kepada Katadata.co.id.

Satria yang menempuh pendidikan S2 di Peking University pada 2015-2017 mencontohkan Beijing yang pernah memiliki kualitas udara terburuk di dunia beberapa tahun silam. Kota kedua terbesar di Cina ini memiliki karakteristik yang serupa dengan Jakarta yang dikelilingi oleh kota-kota industri. 

"Sekitar 70%-80% polusi di Beijing saat itu berasal dari pabrik dan PLTU. Banyak pabrik yang punya PLTU sendiri dan ini kemungkinan besar yang juga terjadi di Indonesia saat ini," kata dial 

Namun demikian, menurut dia, Cina sangat efisien dalam mengidentifkasi masalah dan tahu betul bahwa industri dan PLTU adalah penyebab utama polusi udara. Mereka lantas melakukan pergeseran sumber energi dari batu bara yang kotor ke tenaga air yang bersih dalam waktu cepat. Pemerintah Cina juga mengatur dengan ketat mekanime penganangan polusi yang dihasilkan pabrik.

"Sekeliling Beijing itu banyak dilewati bendungan, ini yang dimanfaatkan untuk mengganti sumber energi dari PLTU ke PLTA. Pemerintah kita kan sebenarnya juga banyak bangun bendungan, ini seharusnya bisa jadi contoh," kata dia. 

 

 

WFH dan Kendaraan Lisrik Bukan Solusi

Satria melihat kebijakan WFH yang ingin ditempuh pemerintah sebagai solusi jangka pendek tak akan banyak memberikan dampak. Udara di Jakarta memang relatif lebih bersih saat pandemi dan kebijakan WFH diterapkan, tetapi itu bukan semata karena penggunaan transportasi menurun signifikan. Kondisi saat itu juga dipengaruhi oleh banyaknya aktivitas pabrik yang juga terhenti. 

"Kalau ingin menyelesaikan masalah, datanya harus transparan dan akurat," kata dia. 

Menurut dia, pemerintah perlu memetakan polusi yang disebabkan oleh industri dan melakukan pengawasan lebih tegas kepada pabrik-pabrik di sekitar Jakarta. Pengaturan lebih ketat juga perlu diterapkan untuk PLTU di sekitar Jabodetabek yang bukan hanya dijalankan oleh PLN, tetapi juga swasta. 

"Kendaraan listrik juga bukan solusi, karena faktanya 60% sumber listrik kita masih didapat dari batu bara," ujarnya. 

Sementara itu, Aktivis Walhi Jakarta Muhammad Aminullah menilai, ada banyak faktor yang memengaruhi buruknya kualitas udara di Jakarta. Ia juga menilai transportasi bukanlah satu-satunya yang mendominasi. 

"Faktor-faktornya banyak tidak bisa fokus di satu hal. Memang transportasi menjadi salah satu kontribusi. Tapi ada sektor lain, misalnya industri," kata dia kepada Katadata.co.id. 

Pria yang akrab disapa Anca ini mengatakan, Walhi mencatat, terdapat 1.100 sumber pencemar tidak bergerak. Sekitar 130-150 di antaranya menyebabkan polusi udara. "Itu yang tercatat, belum yang tidak tercatat," kata dia. 

Sumber tidak bergerak ini mencakup industri yang memiliki aktivitas pembakaran dan menghasilkan polusi hingga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, ia tak memiliki data yang terang bagaimana sumbangan industri terhadap polusi udara tersebut. 

"Selain industri, pembakaran sampah hingga peristiwa kebakaran juga punya kontribusi. DI Jakarta ada sekitar 50 kejadian kebakaran setiap bulan," kata dia. 

Oleh karena itu, Anca menilai pemerintah tak bisa hanya mengeluarkan satu solusi untuk mengatasi masalah pencemaran udara, apalagi yang bersifat jangka pendek seperti kebijakan WFH. Ia juga menekankan bahwa udara bersih adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah tak boleh menganggap enteng persoalan ini. 

"Yang kami lihat, isu pencemaran udara ini masih dianggap enteng oleh pejabat-pejabat terkait," ujarnya.