Pemerintah berhasil menarik komitmen investasi di bidang rantai pasok pembuatan kendaraan listrik mencapai US$ 20,3 miliar atau setara Rp 304,5 triliun sepanjang 2021 hingga 2024. Dari total komitmen investasi tersebut, sebesar US$ 15 miliar merupakan investasi terkait produksi baterai listrik.
Nilai komitmen investasi tersebut merupakan hasil dari analisis Institute for Essential Services Reform (IESR) yang mengolah data Rigel Capital 2022 dan Indonesia Battery Corporation (IBC) 2021. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N. Kacaribu mengatakan, realisasi investasi tersebut tak lepas dari insentif fiskal dan kebijakan hilir dalam industri hijau yang telah digulirkan pemerintah.
Pemerintah telah menerbitkan sejumlah insentif untuk menarik investor swasta berinvestasi pada proyek dan industri hijau yamg mencakup libur pajak atau tax holidays, pengurangan pajak atau tax allowance, dan fasilitas pada pajak pertambahan nilai atau PPN. Selain itu, ada pula insentif pajak impor dan pajak properti.
"Berbagai kebijakan fiskal dan kebijakan lainnya di sektor industri hijau diharapkan dapat membantu mengurangi emisi hingga setara 15 juta ton C02," ujar Febrio dalam Asean Matters: Epicentrum of Growth, Jakarta, Rabu (23/8).
Merujuk laporan IESR, selain produksi baterai listrik, investasi yang cukup besar juga masuk di sektor original equipment manufacturer (OEM) yang mencapai US$5,2 miliar. OEM mengacu pada perusahaan pembuat komponen yang kemudian akan menjual kembali barangnya ke perusahaan lain.
Investasi lain yang juga masuk cukup besar adalah di sektor pertambangan untuk kendaraan listrik mencapai US$160 juta da pabrik daur ulang sebesar US$30 juta.
Riset IESR juga menyebut bahwa rantai pasok kendaraan listrik domestik sebenarnya belum terintegrasi. "Sekitar US$20 miliar telah diinvestasikan di seluruh rantai pasokan, tetapi beberapa produsen baterai dan pabrik daur ulang tidak akan beroperasi, setidaknya hingga 2025," tulis tim dalam laporannya.
Obligasi Hijau
Febrio mengatakan, pemerintah tak hanya mendukung pengembangan industri hijau dengan berbagai insentif untuk mengurangi emisi karbon. Pemerintah juga mendorong pembiayaan hijau dengan menerbitkan green bonds sebesar US$ 6,2 miliar dan obligasi SGD's atau Sustainable Deveopment Goals (SDGs) sebesar US$ 577 juta yang diharapkan membantu menurunkan emisi karbon setara 10,6 juta ton CO2.
“Indonesia juga telah mengeluarkan kerangka peraturan untuk menerapkan penetapan harga dan pajak karbon. Kebijakan ini akan memanfaatkan instrumen perdagangan dan non-perdagangan karbon,” kata Febrio.
Ia berharap perdagangan karbon dapat dimulai pada akhir 2023. Febrio menjelaskan, perdagangan karbon dibutuhkan untuk menginternalisasi biaya eksternal emisi gas rumah kaca dan mengimplementasikan prinsip pembayaran pencemar.