Ekonom Joseph Stiglitz: AS dan Banyak Negara Salah Diagnosa Inflasi

Katadata/Zahwa Madjid
Ekonom Peraih Nobel Joseph Stiglitz menghadiri Bloomberg CEO Forum pada Rabu (6/9).
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Agustiyanti
7/9/2023, 11.37 WIB

Inflasi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat belum turun sesuai target bank sentral meski suku bunga acuan sudah dinaikkan secara agresif. Ekonom Amerika peraih penghargaan nobel di bidang ekonomi Joseph Stiglitz menilai, upaya pengendalian inflasi  yang dilakukan banyak negara kurang tepat lantaran salah mendiagnosa penyebabnya. 

“Kami melihat inflasi pada tingkat yang belum pernah kami lihat selama beberapa dekade dan hal ini merupakan tantangan nyata bagi bank sentral. Mereka bukanlah ekonom yang baik, mereka salah mendiagnosis seperti apa masalahnya,” kata Joseph Stiglitz dalam Bloomberg CEO Forum, Rabu (7/9).

Stiglitz bahkan mengumpamakan beberapa bank sentral sebagai tukang kayu yang hanya memiliki satu alat, yakni palu untuk menghancurkan kayu. Artinya, bank sentral hanya memiliki satu instrumen untuk mengatasi inflasi, yaitu menaikan suku bunga. Padahal, kenaikan suku bunga ini dinilai memiliki resiko yang besar bagi perekonomian global.

“Inflasi sebagian besar yang merupakan hasil dari pandemi dan perang yang terkait dengan gangguan pasokan yang tinggi, diiringi juga dengan sejumlah pergeseran permintaan dan respons harga yang naik lebih mudah daripada pasar tenaga kerja,” kata Joseph Stiglitz

Joseph kemudian mencontohkan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pada pertengahan pandemi beberapa tahun lalu, menurut dia, inflasi di Amerika disebabkan oleh harga mobil. Ini karena banyak perusahaan mobil yang tidak memproduksi chip sehingga kelangkaan yang disebabkan masalah dengan Cina memengaruhi harga. 

"Kesalahan dari para perusahaan mobil adalah mereka lupa memesan chip, sementara butuh waktu tidak sebentar untuk memperolehnya. Hal ini tentu membuat harga mobil kemudian melonjak," kata Joseph.

Kenaikan harga mobil menyumbang setidaknya sepertiga dari inflasi AS. AS pun membutuhkan waktu sekitar setengah tahun untuk harga mobil dapat turun.   Kondisi tak berbeda jauh terjadi pada masalah properti yang memiliki pengaruh besar pada ekonomi AS. 

Stiglitz menilai, masalah geopolitik juga berpengaruh terhadap pergerakan inflasi. Langkah-langkah dalam geopolitik di mana AS mencoba mengurangi pembelian dari Cina membuat mereka juga kesulitan. 

"Risiko besar ke depan adalah geopolitik baru. Satu-satunya hal yang disetujui oleh kedua partai di Amerika Serikat adalah bahwa Cina adalah masalah dan kedua kubu partai di AS bersaing menjadi lebih keras ke Cina" kata Joseph.

Joseph menekankan, dirinya tak berpihak ke partai manapun, tetapi kedua partai republik maupun demokrat AS ingin mengurangi resiko dari eksposur mereka terhadap Cina.

Dari internal Cina sendiri, menurut dia, ada indikasi kuat akan tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda dan permasalahan di pasar properti karena permintaan yang menurun dan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi hal tersebut. 

“Semua orang berharap setelah pandemi ini, Tiongkok akan pulih dan menjadi basis pertumbuhan ekonomi global namun mereka salah mengatur pemulihannya,” kata Joseph.

Joseph Stiglitz adalah seorang ekonom terkemuka yang memenangkan Penghargaan Nobel dalam Ekonomi pada tahun 2001. Stiglitz dikenal karena karyanya dalam memperjuangkan kesetaraan ekonomi dan keadilan sosial. Salah satu kontribusi utama Stiglitz dalam ilmu ekonomi adalah teorinya tentang informasi yang tidak sempurna, yang dikenal sebagai “Teori Informasi Asimetris”. 

Menurut Stiglitz, pasar bekerja dengan baik hanya jika semua pihak memiliki akses yang sama terhadap informasi. Namun, dalam kehidupan nyata, sering kali terjadi informasi yang tidak sempurna atau tidak asimetris. Informasi tidak sempurna berarti bahwa satu pihak dalam sebuah transaksi memiliki informasi yang lebih banyak atau lebih baik daripada pihak lain. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pasar dan merugikan konsumen atau produsen yang kurang terinformasi.

 

Reporter: Zahwa Madjid