Kementerian Perdagangan meminta Kementerian Keuangan memberikan insentif pajak untuk produsen minyak sawit mentah atau CPO yang tergabung dalam Bursa CPO. Kemendag menilai, insentif dapat diberikan lantaran penerimaan negara akan bertambah setelah Bursa CPO beroperasi.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Didid Noordiatmoko mengatakan, ada dua jenis penerimaan pajak yang akan bertambah dengan meluncurnya bursa, yakni Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Penerimaan pajak tersebut bertambah lantaran pembentukan harga CPO di dalam negeri akan lebih transparan.
"Tadinya pembentukan harga CPO secara business-to-business agak sedikit gelap. Jadi, dasar pengenaan PPn maupun pajak lainnya akan lebih adil lagi kepada produsen CPO," katanya di Hotel Mulia, Jumat (13/10).
Didid menyampaikan, perhitungan awalnya menunjukkan bahwa agregat penerimaan negara tetap akan naik setelah pemberian insentif tersebut. Namun, Didid mengakui harus memperbarui kajiannya setelah Bursa CPO berjalan secara penuh.
Ia menargetkan, Bursa CPO berjalan penuh mulai 23 Oktober 2023. Sejauh ini, total anggota Bursa CPO baru 18 perusahaan, namun menurutnya angka tersebut akan terus bertambah dalam waktu dekat.
Ekspor dari Bursa CPO
Didid menjelaskan, operasional Bursa CPO dapat memberikan referensi harga dalam penetapan Harga Patokan Ekspor CPO. HPE CPO diterbitkan Kemendag setiap bulan dengan mayoritas referensi harga dari Bursa CPO di Rotterdam dan Malaysia.
Didid memproyeksi, referensi harga dari Bursa CPO lokal dapat terbentuk pada kuartal pertama tahun depan. Namun, ia mengakui belum ada mekanisme pembelian langsung CPO oleh entitas asing melalui Bursa CPO.
Ia menjelaskan, mekanisme tersebut belum ditentukan lantaran volume pembelian langsung CPO dari luar negeri terbilang kecil. Didid menemukan skema ekspor CPO yang umum terjadi adalah transaksi antara pembeli CPO lokal dan pembeli CPO asing.
Didid mencontohkan, sebuah perusahaan CPO lokal memiliki kontrak sebesar 30 ton dengan entitas asing. Perusahaan CPO lokal tersebut akan membeli CPO di dalam negeri untuk memenuhi kontrak tersebut.
"Volumenya lebih banyak dari model yang saya sampaikan ini. Jadi, istilahnya lokal untuk ekspor," katanya.
Badan Pusat Statistik atau BPS mendata nilai ekspor CPO per Juli 2023 anjlok 19,25% secara tahunan menjadi US$ 2,28 miliar. Secara bulanan, angka tersebut lebih rendah 1,51% dari capaian Juni 2023 senilai US$ 2,31 miliar.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan, anjloknya nilai ekspor minyak kelapa sawit disebabkan oleh merosotnya harga di pasar ekspor. Menurutnya, harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO akan stabil sekitar US$ 1.000 per ton hingga akhir 2023.
Nilai ekspor CPO per Juni 2023 juga merosot 15,55% secara tahunan. Eddy mencatat, volume ekspor CPO dan seluruh turunannya per Juni 2023 mencapai 3,4 juta ton dengan nilai ekspor US$ 2,88 miliar.
Namun demikian, ia menjelaskan, data yang dihimpun BPS tersebut terbatas pada CPO. Menurutnya, data tersebut tidak merekam capaian turunan CPO, seperti hasil industri biodiesel, industri oleokimia, dan Palm Fatty Acid Distillate.
Eddi mendata volume ekspor CPO dan turunannya hanya 2,4 juta ton, tetapi nilai ekspornya mencapai US$ 3,77 miliar. Ini artinya, volume ekspor CPO dan turunannya pada Juni 2023 naik 1 juta ton secara tahunan, tapi nilai ekspornya susut 23,6%.
"Faktor harga CPO di pasar global sangat dominan. Penurunan harga ini karena pasokan minyak nabati lain cukup bagus," kata Eddy kepada Katadata.co.id, Selasa (15/8).