Pemerintah Waspadai Kenaikan Dana Kompensasi Energi Jelang Akhir 2023

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan paparan dalam konferensi pers APBN KiTa di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
25/10/2023, 18.57 WIB

Tingginya harga minyak dan melemahnya nilai tukar rupiah membuat Kementerian Keuangan mewaspadai kenaikan dana kompensasi energi jelang akhir 2023. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut harga minyak dunia berpotensi melonjak akibat perang Palestina vs Israel. Dalam catatannya, perang Ukraina-Rusia yang terjadi sejak Februari 2022 membuat harga minyak dunia melonjak dari US$ 70 per barel menjadi US$ 120 per barel kurang dari 30 hari.

"Gejolak perang Palestina-Israel mulai terefleksi ke harga minyak dunia yang  melonjak dan menembus angka US$ 90 per barel," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKita di kantornya, Jakarta, Rabu (25/10).

Lonjakan harga bukan karena berkurangnya produksi minyak dan gas dari Timur Tengah. "Tapi kondisi psikologis karena adanya perang di sana," ujarnya.

Kondisi global tersebut dapat membuat dana kompensasi energi domestik naik. Namun, Sri Mulyani mengatakan asumsi harga minyak dunia dalam anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) masih sesuai dengan perhitungan.

Angka asumsi itu adalah US$ 90 per barel. Harga minyak bumi dunia secara tahun berjalan baru mencapai US$ 77 per barel.

Berdasarkan data Investing per hari ini, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berjangka berada di level US$ 83,47 per barel atau naik 4,52% secara tahun berjalan. Lalu, harga Brent telah menyentuh level US$ 87,97 per barel atau naik 7% secara tahunan.

Yang perlu diwaspadai, menurut Sri Mulyani, adalah pergerakan nilai tukar rupiah. Angkanya kini menjauh dari proyeksi dana kompensasi energi yang senilai Rp 14.800 per dolar AS. Nilai tukar rupiah, yang menjadi patokan pembayaran kompensasi, saat ini senilai Rp 15.171 per dolar AS.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan pelemahan rupiah tersebut akan meningkatkan nilai kompensasi yang harus dikeluarkan negara. Alhasil, pemerintah harus memilih pembebanan biaya tambahan tersebut pada anggaran negara atau masyarakat dengan menaikkan harga BBM.

"Kenaikan nilai kompensasi bisa terjadi karena pelemahan kurs rupiah. Mudah-mudahan nilai minyak dunia tidak melonjak terlalu tinggi," ujar Isa.

Dana kompensasi energi adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengganti selisih harga antara BBM yang dibeli di pasar internasional dan dijual di dalam negeri kepada badan usaha milik negara. BUMN yang memperoleh dana ini adalah Pertamina dan PLN dengan jenis energi BBM (Pertalite dan Solar) dan listrik. 

Selain kurs dan harga minyak, Isa mengingatkan konsumsi listrik di dalam negeri dapat mempengaruhi nilai kompensasi tersebut. Karena itu, Isa mengimbau pemangku kepentingan untuk mengendalikan konsumsi listrik dengan lebih baik di dalam negeri.

"Kalau kita tidak mengendalikan konsumsi energi dengan lebih baik, memang akan ada potensi naik. Jadi, ini yang perlu diwaspadai," katanya.

Reporter: Andi M. Arief