Para perajin tempe dan tahun kesulitan akibat harga kedelai yang melonjak hingga menembus Rp 13.000 per kg. Badan Pangan Nasional atau NFA menjelaskan, penyebab utama tingginya harga kedelai adalah pelemahan kurs rupiah. Mayoritas atau lebih dari 90% kedelai di dalam negeri bergantung pada impor.
Direktur Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan NFA Maino Dwi Hartono mencatat pelemahan rupiah membuat rata-rata harga kedelai di DKI Jakarta di rentang Rp 12.300 sampai Rp 12.500 per kilogram. Menurutnya, sebagian daerah bahkan menjual kedelai dengan harga senilai Rp 14.000 per kg.
"Sebulan terakhir tren harga kedelai naik. Bulan kemarin masih di angka Rp 11.000 per kg, sekarang sudah Rp 12.000 per kg di Jakarta," kata Maino kepada Katadata.co.id, Senin (20/11).
Maino mengatakan, kedelai yang tersedia saat ini merupakan hasil panen bulan-bulan sebelumnya. Namun, harga tetap tinggi untuk mengikuti harga pembelian kedelai selanjutnya.
Ia menjelaskan, kenaikan harga kedelai selama sebulan terakhir merupakan siklus normal. Hal tersebut disebabkan oleh belum adanya panen kedelai dari tanaman baru. Panen biasanya dilakukan setiap November di negara produsen kedelai. Ia pun memperkirakan, harga kedelai di dalam negeri baru akan melandai pada Desember 2023.
NFA mendata rata-rata nasional harga kedelai sempat mencapai Rp 13.320 selama sepekan terakhir pada 16 dan 18 November 2023. Namun, harga kedelai mulai melandai hingga Rp 13.210 pada hari ini, Senin (20/11).
Meski harga naik, ia memastikan pasokan kedelai di dalam negeri masih terjaga. Menurutnya, pasokan kedelai di gudang-gudang importir kini mencapai 300.000 ton, lebih besar dari konsumsi kedelai nasional, yakni 250.000 ton per bulan.
Oleh karena itu, menurut dia, mitigasi yang dilakukan pemerintah adalah memberikan bantuan transportasi senilai Rp 200 sampai Rp 400 per kg. Maino berharap bantuan tersebut dapat mengurangi biaya produksi pengrajin tahu dan tempe nasional.
Meski demikian, bantuan transportasi tersebut baru diberikan pada pengiriman kedelai dari gudang importir ke pengrajin dan hanya dilakukan di empat provinsi, yakni Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Timur. Bantuan diberikan secara selektif karena minimnya anggaran pada akhir tahun.
"Harapannya, saat Desember 2023 harga sudah turun. Alternatif lain, pemerintah ada program stabilisasi pasokan dan harga pangan kedelai," ujarnya.
Maino menjelaskan SPHP kedelai hanya dilakukan jika harga kedelai nasional lebih tinggi 10% di atas Harga Acuan Pembelian kedelai senilai Rp 12.000 per kg. Saat ini, rata-rata nasional harga kedelai telah 10,08% lebih tinggi dari HAP kedelai.
NFA mendata harga kedelai termahal ditemukan di Maluku atau senilai Rp 16.380 per kg. Sementara itu, harga kedelai terendah ada di Bali sebesar Rp 11.280 per kg.
"Namun pelaksanaan program SPHP kedelai masih berproses karena perlu rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Jangka pendek, kami bantu Fasilitasi Distribusi Pangan," katanya.
Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia atau Gakoptindo menyebut, terdapat setidaknya 15.000 pengrajin tempe dan tahu telah gulung tikar sepanjang tahun ini. Ini terjadi akibat harga kedelai yang terus naik hingga menembus Rp 13.000 per kilogram pada awal Oktober 2023.
Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin mengatakan, fluktuasi harga kedelai merupakan hal yang wajar setiap April-November. Namun, menurut dia, kenaikan harga biasanya melandai pada November yang tak terlihat saat ini. Harga kedelai masih tinggi karena penurunan produksi di Amerika Serikat dan Brazil akibat El Nino.
"Kondisi pengrajin tempe dan tahu di Indonesia saat ini prihatin karena harga kedelai yang tidak terkendali," kata Aip kepada Katadata.co.id, Kamis (16/11).
Aip menjelaskan, tekanan kenikan harga kedelai kini disiasati perajin dengan memperkecil ukuran tempe dan tahu dan menaikkan harga ecara perlahan. Ia menekankan, hal tersebut harus dilakukan untuk menjaga kapasitas produksi industri tempe dan tahu di dalam negeri.