Anies Ingin Bebaskan Pajak Kegiatan Sosial, Pengamat: Itu Rumit

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/YU
Capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan menjawab pertanyaan wartawan usai mengikuti debat perdana Pemilu 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat perdana tersebut mengangkat topik pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan layanan publik dan kerukunan warga.
13/12/2023, 17.31 WIB

Anies Baswedan berencana membebaskan pajak untuk kegiatan sosial jika terpilih menjadi presiden 2024. Menurutnya, pembebasan pajak untuk aktivitas-aktivitas sosial merupakan bentuk keadilan dalam perpajakan.

"Bayangkan Yayasan-Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) ngurusin anak cacat dikenakan pajak bumi dan bangunan (PBB), sekolah pendidikan dan rumah sejarawan harus bayar pajak puluhan juta per tahun. Nah, di Jakarta kegiatan seperti itu sudah kita bebaskan," ujar Anies dalam acara Dialog Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO): Capres 2024 Roadmap Perekonomian Indonesia 2024-2029 dikutip Rabu (13/12).

Anies menekankan, untuk kegiatan yang bersifat produktif akan dikenai pajak secara proporsional, sementara untuk kegiatan yang bersifat konstruktif akan dikenai pajak yang lebih tinggi agar lebih adil.

"Jadi prinsipnya fairness. Jadi gak cuma meningkatkan perpajakan, tapi juga kasih insentif dan disinsentif," ujar Anies.

Menurut pengamat pajak Fajry Akbar, ide pembagian pajak berdasarkan kegiatan sosial/produktif/konsumtif ini akan memperumit administrasi pajak yang ada.

Melihat UU PPh dan UU PPN, menurut Fajry, sudah ada pengecualian atau pembebasan untuk kegiatan sosial. Dalam Pasal 4 ayat 3 UU PPh, disebutkan beberapa objek yang dikecualikan seperti bantuan atau sumbangan. Serta huruf (m) ada ketentuan pengecualian untuk organisasi nirlaba terkait sisa lebih.

“Begitupula dengan PPN, dalam UU HPP kita bisa lihat kalau jasa pelayanan sosial masih dibebaskan dari pengenaan PPN,” ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Rabu (13/12).

Menurut Fajry, kebijakan pajak yang baik harus jelas, mana subjek dan mana objeknya. Setiap aktivitas ekonomi, seperti pegawai, dapat melakukan aktivitas produkif dan konsumstif.

“Membedakannya aktivitas produktif dan konsumtif nanti seperti apa? ide kebijakan ini akan rawan dispute antara wajib pajak dengan petugas pajak,” ujar Fajry.

Sementara itu, Pengamat pajak Prianto Budi Saptono menilai, semua urusan pajak harus diatur melalui UU karena Pasal 23A UUD 1945 yang mengamanatkan demikian. Pembebasan pajak yang diwacanakan tersebut harus jelas untuk jenis pajak apa.

“Saat ini, di Indonesia itu ada 22 jenis pajak (9 pajak pusat dan 13 pajak daerah. Pajak daerah juga terbagi lagi menjadi 6 pajak provinsi dan 7 pajak kabupaten/kota,” ujar Prianto.

Selain itu, penerapan pajak juga harus memiliki tujuan. Misalnya saja, manfaat pajak bisa bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara atau untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan.

“Contohnya, pajak rokok itu tidak untuk meningkatkan penerimaan negara, tapi untuk menanggulangi ekses negatif dari rokok,” ujar Prianto.

Reporter: Zahwa Madjid